Laman

Senin, 30 Mei 2011

Ushul Fiqh



  1. PENDAHULUAN
Para ulama’ ushul telah menetapkan sejumlah kaidah-kaidah tasyri’ yang wajib kita ketahui dan diperhatikan bagi mereka yang hendak menafsirkan nash-nash dari kaidah tersebut, dan juga memperhatikan hukum yang dihasilkan dari nash-nash, baik nash Al-Qur’an maupun Hadits serta illat hukumnya dari sesuatu masalah yang ada.
Para ulama’ fiqih dalam berijtihad senantiasa memperhatikan kaidah-kaidah kulliyah yang tidak kurang nilainya dari prinsip undang-undang internasional, walaupun dalam penggunaan nama dan istilahnya tidak sama. Tujuan dari adanya kaidah-kaidah adalah untuk memelihara jiwa islam dalam menetapkan sebuah hukum dan juga mewujudkaan hukum keadilan, kebenaran, persamaan, kemaslahatan dengan cara memelihara keadaan dharurat yang dibenarkan oleh syara’. Untuk itu, disini pemakalah akan sedikit menggambarkan tentang dua bentuk kaidah fikih, yaitu:
ليس لأ حد تمليك غيره بلا رضاه   و     كل من أدى حقا عن الغير بلا إذن او ولاية فهو متبرع ما لم يكن مضطرا
        
            Kiranya makalah ini masih banyak kekurangan karena minimnya literatur yang ditemukan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun kami (pemakalah) sangat harapkan. Akhirnya, semoga ringkasan makalah ini dapat memberi manfaat kepada kita semua serta dapat menuntut kita dalam mengarungi bahtera kehidupan agar tidak serta-merta memakai barang milik orang lain dan tidak tergesa-gesa mengambil suatu tindakan. Amin.




B.     PEMBAHASAN
B.1.1. Kaidah Pertama
ليس لأ حد تمليك غيره بلا رضاه
 “Seseorang tidak boleh memanfaatkan hak milik orang lain tanpa seizin pemiliknya/ridlhanya
B.1.2. Uraian dan makna kaidah
Tanpa adanya perijinan baik terlebih dahulu atau menyusul dari pemilik hak, seseorang tidak diperbolehkan memanfaatkan atau melakukan sesuatu hal berkenaan dengan hak tersebut, baik berupa pekerjaan atau ucapan.
Adapun tasharuf tersebut berupa pekerjaan adalah memanfaatkan hak orang lain dalam bentuk tindakan/aktifitas. Orang yang mengambil manfaat/menggunakan hak orang lain dengan izin terlebih dahulu maka ia berkedudukan sebagai wakil (taukil) atas hak tersebut. Tapi bila tanpa ijin disebut ghasab, dengan konsekwensi mengembalikannya dan mengganti kerusakan yang ada pada hak tersebut.[1]
Misalnya, si penjual haruslah pemilik barang yang dijual atau wakil dari pemilik barang. Tidak ada hak orang lain pada barang yang dijual.[2] Seseorang menggali di tanah yang bukan hak miliknya tanpa ada ijin dari pemilik maka ia harus membayar ganti rugi, tapi menurut imam Abu Hanifah dan Abi Yusuf ia tidak wajib menimbunnya kembali, berbeda dengan membuat galian di jalan umum, ia diharuskan menimbun kembali secara mutlak. Kemudian jika timbul suatu kerugian dari pekerjaan tersebut, ia harus menggantinya.
Adapun tasharuf yang berupa ucapan adalah memanfaatkan hak milik orang lain dalam bentuk ucapan. Seperti melakukan akad nikah, akad sewa-menyewa, wasiat, hibah dll. Sebagai contoh: Akad sewa menyewa, yaitu pemberi sewa merupakan pemilik barang yang disewakan atau orang yang menyandang status sebagai pengganti (wakil), atau  atas izin dari pemilik barang, begitupun dengan akad nikah, yaitu perwalian yang diperbolehkan syariat seperti ayah dan penanggung anak.[3] Dan juga contoh lain, Seseorang di akhir hayatnya mewasiatkan untuk menjual tanah sepetak di belakang rumahnya sepeninggalnya nanti.
Milik orang lain merupakan yang terjaga kehormatannya. Kehormatan ini tidak boleh dirusak dengan mentasharufkan (mengadakan akad jual beli, dan lain-lain) tanpa seizinnya/ridlhanya. Atas dasar inilah, mempergunakan harta bersama dari sebagian anggota tanpa seizin anggota yang lain atau mempergunakan pagar tetangga tanpa seizinnya tidak diperbolehkan.
Izin adakalanya diberikan dalam bentuk sharih ( jelas atau langsung) dan adakalanya berupa dilalah (indikasi atau tidak langsung). Izin yang jelas langsung adalah seperti seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk menjualkan rumahnya, sedangkan izin tidak langsung seperti yang terjadi pada dua pihak yang bersyirkah kebun anggur, ketika tiba masa panen dan salah satu pihak tidak ada, maka pihak yang ada boleh memanen seluruh buah, menjual kemudian mengambil bagiannya dan menyisihkan (menyimpan bagian temannya). Hal ini diperbolehkan karena ada penunjukan bahwa pihak yang tidak ada tidak akan rela membiarkan buah anggur bagiannya rusak (membusuk) karena tidak terpanen. Seperti halnya juga penggembala menyembelih kambing yang hampir mati milik tuannya.[4]
Disamping pemilik hak, ada beberapa pihak yang dapat menggantikan posisi pemilik yaitu pelaksana wasiat, wali, atau wakil dari pemilik. Tasharuf  terhadap harta milik orang lain tanpa izin dan tanpa sifat yang memperbolehkannya, menurut syara’ tidak diperbolehkan dan dinilai batal dalam hukum peradilan.[5]
B.1.3 Cabang kaidah:[6]
1.      Dalam materi nomor 1075 dari Majallah Al-Ahkam Al-Adliyah dinyatakan bahwa masing-masing anggota dalam perseroan milik bersama dianggap sebagai orang lain, berkaitan dengan hak miliki dengan perseroan tersebut. Masing-masing bukanlah wakil dari temannya, sehingga dia tidak boleh mentasharufkan bagian temannya kecuali telah mendapat izin.
2.      Dalam materi nomor 446 dari Majallah Al-Ahkam Al-Adliyah disebutkan bahwa pemilik barang yang disewakan berhak mentasharufkan barang yang disewakannya, begitu juga wakil, wali, atau penanggungnya.
Materi ini menjelaskan syarat berlangsungnya akad sewa menyewa, yaitu pemberi sewa merupakan pemilik barang yang disewakannya, atau merupakan orang yang berhak mentasharufkannya dengan menyandang status sebagai pengganti seperti wakil, atau atas izin dari pemilik barang tersebut, atau sebagai perwalian yang diperbolehkan syari’at seperti ayah dan penanggung anak.
     B.1.4 Pengecualian
·      Seorang anak boleh membeli apapun yang dibutuhkan oleh orang tuanya dengan menggunankan harta (orang tua) yang sedang sakit, begitu juga sebaliknya.
·      Dalam perjalanan ketika ada teman yang sedang sakit atau tidak sadarkan diri, maka teman seperjalananya boleh menggunakan harta (teman yang sakit) untuk keperluannya (teman yang sakit).

B.2.1. Kaidah Kedua
كل من أدى حقا عن الغير بلا إذن او ولاية فهو متبرع ما لم يكن مضطرا
“setiap orang yang memanfaatkan haq orang lain tanpa seizing darinya atau menjalankan wilayah kekuasaan, itu adalah mutabarru’ selama tidak dalam keadaan dorurat/terpaksa”
Akad tabarru’ adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata seperti hibah atau hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan barangnya dilaksanakan.[7]





C.    KESIMPULAN
Memanfaatkan barang (harta) milik orang lain tanpa izin dari pemiliknya, maka hal itu tidak diperbolehkan. Hal ini yang disebut dengan ghosab. Barang yang digunakan harus dikembalikan dan jika barang yang dipakainya itu cacat/rusak maka al-ghasib tersebut wajib mengganti serta meminta ridha si pemilik.

D.    DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Mustafa, Syarh Al-Qawaidul Fiqh. 1996. Jeddah. Cetakan IV: Dar-Al-Basyir.
Muhyiddin. Terjemah Al-Wajiz; 100 Kaedah Fikih dalam Kehidupan Sehari-hari. Februari, 2008 Pustaka Al-Kautsar. Jakarta Timur.



[1] Muhammad al Zarqa. hlm. 461
[2] Majalah ahkam al-adliyah pasal 96 ; asymuni . hlm 104
[3] Salim Bz, hlm 253.
[4] Syarh Al-Qawaidul Fiqh, hlm. 362.
[5] Al-Wajiz; 100 Kaedah Fikih dalam Kehidupan Sehari-hari. hlm. 203.
[6] Ibid, 203
[7] A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, hlm. 135.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar