Laman

Senin, 30 Mei 2011

BEBERAPA PENDEKATAN STUDI ISLAM DI INDONESIA

BEBERAPA PENDEKATAN STUDI ISLAM DI INDONESIA
Oleh: A



Pengantar
Urgensi mata kuliah ini adalah untuk memperkenalkan beberapa temuan teori yang dihasilkan oleh para sarjan Barat dalam melihat Islam di Indonesia. Untuk selanjutnya kita diharapkan bisa mengapresiasi bahkan mengkritisi beberapa temuan mereka. Karena setelah mereka melakukan studi secara intensif, ternyata banyak hal yang harus dan bisa dijelaskan secara ilmiyah mengenai ke-khas-an dan corak ke-Islaman di Indonesia.
Persoalannya adalah, apakah temuan-temuan mereka pada masa itu masih relevan dengan kondisi dan untuk menggambarkan Islam Indonesia sekarang? Apa tujuan sebenarnya dibalik studi mereka dalam melihat Islam di Indonesia? Adakah dampak positif bagi Islam sendiri atau bahkan kesan negatif yang muncul, ketika Islam Indonesia dijelaskan dengan cara-cara seperti itu?
Untuk itulah, Dr. Bahtiar Effendy, MA selaku pembina mata kuliah ini sejak awal telah menyarankan bahwa kita sebagai sarjana muslim Indonesia perlu membaca pandangan-pandangan mereka secara konseptual dan rasional. Apakah aspek-aspek dan metodologi penelitian mereka bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiyah dan akademik? Apa kelebihan dan kekurangan yang ada pada temuan mereka dalam melihat Islam di Indonesia dari masing-maming perspektifnya?
Sebagai bahan kajian utama untuk melatih kepekaan mahasiswanya dalam melihat Islam di Indonesia, untuk sementara ini beliau baru menawarkan lima teori yang dikembangkan oleh hasil-hasil studi para sarjana Barat yang nota bene-nya telah disebut sebagai ahli ke-Indonesia-an (indonesianist). Kelima teori atau pendekatan dalam melihat Islam di Indonesia, terutama dalam aspek-aspek agama, sosial, politik dan budaya itu di antaranya:

1.Pendekatan Dekonfessionalisasi yang dikembangkan oleh C.A.O.Van Nieuwenhuijze. Teori ini diambil dari karyanya berjudul, “The Indonesian State and Deconfessionalized Muslim Concepts” dalam Aspects of Islam in Post-Colonial Indonesia, The Hague and Bandung W van Hoeve,1958;180-243, dan Islam and National Self-Realization” dalam Cross-Cultural studies, The Hague, Monton and Co,1963;136-156.
Pandangan teori ini menyatakan secara garis besarnya, bahwa sebagaimana yang pernah terjadi di Belanda dalam rangka menyatukan perbedaan antar kelompok agama dan memelihara hubungan politik bersana dalam sebuah negara, maka seluruh identitas keyakinan, simbol-simbol kelompok yang eksklusif harus bisa ditinggalkan untuk sementara waktu dalam rangka mencapai suatu kesatuan dan kebersamaan yang lebih besar.

Kenyataan ini, ternyata bisa pula untuk memotret kasus di Indoinesia pascakolonialisme, dimana para tokoh-tokoh elit politik dari macam agama dan latar belakang sosial yang berbeda (Muslim, Kristen, Nasionalis, Sosialis, Sekularis, Modernis bahkan Ortodoks) untuk sama-sama duduk bersama terutama dalam merumuskan ideologi kebangsaan, Pancasila. Semua tokoh bisa bahkan harus bisa menekan kepentingannya masing-masing untuk bisa mengadaptasi dan mendapatkan sesuatu yang lebih besar, yakni merumuskan visi kebangsaan secara bersama.
Dalam kasus di Indonesia ini, dekonfesionalisasi adalah konsep yang digunakan untuk memperluas penerimaan umum, mencakup semua kelompok yang berkepentingan, terhadap konsep-konsep muslim atas dasar pertimbangan kemanusiaan bersama.
Dalam pandangan Nieuwenhuijze., munculnya rumusan Pancasila sebagai gagasan ideologi dan visi kebangsaan di Indoensia, dimana bukan lagi Islam sebagai azas utamanya, sebenarnya bukanlah sebuah kekalahan Umat Islam –karena memang secara realistik kelompok yang paling giat dalam banyak memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan yang merumuskan menjadi suatu sistem kebangsaan adalah umat Islam.. Hal ini terbukti, bahwa dari kelima dasar Pancasila itu, sebenarnya secara keseluruhan adalah mencerminkan juga ideologi Islam sendiri. Keesaan Tuhan, keadilan sosial, demokrasi/musyawarah, dan kemanusiaan, semuanya merupakan bagian-bagian penting dari ajaran Islam dan konsep Islam. Termasuk munculnya Departemen Agama, merupakan juga jaminan yang sebenarnya bagi tegaknya Islam secara formal dalam sebuah lembaga kenegaraan.

Dalam kacamata Nieuwenhuijze, para tokoh Islam di Indoensia sangat “cantik” dalam memainkan peran mereka untuk mengakomodasi kelompok lain, tapi secara realistik keberadaan mereka sendiri tetap tersalurkan secara utuh. Ini merupakan suatu bentuk penafsiran kreatif atas prinsip-prinsip Islam yang sedemikian rupa dalam rangka memapankan relevansinya dengan kehidupan politik modern.
Pendekatan Domestikasi Islam yang dikembangkan oleh Harry J. Benda.
Teori ini dikembangkan dari Magnum Opusnya, The Crescent and The Rising Sun, telah diterjemahkan oleh Daniel Dekhade dan diterbitkan oleh Pustaka Jaya, Jakarta. Serta tulisannya yang berjudul Continuity and Change in Indonesia Islam dalam Asian and African Studies, Vol.1, 1965;123-138
Dalam pandangan teorinya ia menggambarkan, Islam walau sehebat apapun perkembangannya di Indonesia, kekuatan lokal senantiasa terus memainkan dominasinya sehingga dinamika Islam yang sesungguhnya itu lumpuh, “terdomistikasi” dalam lingkup lokalitasnya. Fenomena “sinkretik” merupakan sesuatu yang sangat realistik untuk segera menyatakan bahwa kekuatan Islam yang agung itu selalu termakan oleh kekuatan lokalnya. Bahkan bukan sekedar itu, dalam pandangan Benda, bangkitnya kesultanan Mataram, sebenarnya merupakan sebuah penolakan terhadap Islam yang sebenarnya di Demak.. Benda menggambarkan, Mataram Islam sebenarnya sebagai sebuah simbiosis dari kekuatan Hindu Jawa, dan ia merefleksikan simbol kekuatan yang sesungguhnya dalam melawan kekuatan Islam peisisir Demak sebagai kekuatan skripturalis Islam.
Semua fenomena yang terjadi pada antara abad ke-16 – 18 yang mudah diamati itu, sekali lagi sekali memberi kenyataan Islam yang universal dan kosmopolit itu takluk di dalam dekapan “Jawa-Hindu-Mataram”: Dalam konteks “pemandulan politik Islam” yang sebenarnya inilah Harry J Benda menemukan teori “domestikasi”-nya.
Pada perkembangan berikutnya, kekuatan nasionalis dalam personifikasi Soekarno dalam partai PNI, juga bentuk kelanjutan dari upaya yang terus mendominasi dan “mengkrangkeng” beberapa kekuatan Islam skripturalis seperti halnya Darul Islam, Masyumi dan sebagainya untuk kemudian digantikan dengan Pancasila yang pada dasarnya bukan nota bene Islam. Dalam kacamata Benda, Pancasila sebenarnya sebagai personifikasi bentuk kekuatan dan kemenangan Jawa . Dalam hal ini ia menyatakan seperti yang dikutip Bahtiar Effendi dalam bukunya, Islam dan Negara, Mizan, 1998;.30 “…Pancasila, ideologi resmi negara, adalah Jawa, teistik, secara samar monoteistik, padahal yang pasti bukan Islam”
Pada kesimpulannya teorinya, Benda ingin menyatakan, bahwa fenomena pasca kolonislisme dimana akumulasi proses terbentuknya sistem dan visi kenegaraan dan kebangsaan, merupakan suatu pengulangan ajang pertempuran, perebutan antara kekuatan Islam dan Jawa. Kemenangan akhirnya dipegang oleh kelompok yang terakhir ini.
Pendekatan Skismatik dan Aliran.
Pendekatan ini dikembangkan oleh Robert Jay dan Clifford Geertz. Dari tulisan Jay di antaranya, Santri and Abangan; Religious Schism in Rural Central Java, dan bukunya Religion and Politisc in Rural Centarl Java, New Haven; Yale University, 1963. Sementara Geertz banyak juga dia menulis dan yang paling populer adalah The Religion of Java, University of Chicago Press, 1976

Pandangan Jay dalam melihat Islam di Indonesia nampaknya agak mirip seperti apa yang dilihat oleh Harry J Benda, bahwa di Indoensia khususnya Jawa –karena mayoritas penelitian mereka pada umumnya dilakukan di Jawa, khususnya Jawa Tengah– ada suatu kekuatan di luar Islam yang senantiasa menyaingi bahkan “menjinakan”nya. Benda menyebutnya sebagai kekuatan Hindu-Jawa, sedangkan Jay melihatnya sebagai kelompok abangan.
Teori skismatik yang dia bangun menunjukkan bahwa akar-akar konfrontasi (skisma) antara santri dan abangan ini sebenarnya bermula dari proses islamisasi awal di berbagai tempat, khususnya Jawa. Wilayah-wilayah yang pada umumnya pengaruh Hindu-Budha-nya tipis –terutama daerah-daerah pesisir utara Jawa, telah mengkonversi Islam secara total dan menerima apa adanya. Sehingga, mereka-mereka ini kelak akan menjadi kekuatan Islam yang skripturalis, atau lebih tepat disebut “santri”. Sebaliknya, untuk wilayah-wilayah tertentu di pedalaman dimana kekuatn Hindu-Budha-nya cukup kuat terutama daerah-daerah pedalaman seperti bekas-bekas kekuatan kerajaan Majapahit di Mataram dan Singosari di Malang,.seringkali menunjukkan antara Islam dan kekuatan lokal saling melakukan penetrasi. Sehingga kemudian transformasi sosial-budaya dan agama menjadi sesuatu yang sinkretik dan pada akhirnya banyak melahirkan kelompok-kelompok abangan.
Memang antara dua kekuatan ini sepertinya saling pengaruh-mempengaruhi namun pada sisi yang lain kadangkala membangun ketegangan yang sangat melebar, terutama dalam dunia politik. Seperti apa yang terjadi dengan kasus pembantaian terhadap para ulama oleh Sultan Amangkurat II (1613-1646), dalam pandangan Robert Jay bisa dilihat sebagai bentuk fenomena skismatik yang sangat radikal.. Secara umum kekuatan dua kelompok ini, terus berjalan pada pascakolonialis dan masa-masa pembentukan visi kenegara. Keduanya mengkristal dalam wadah yang disebut, “ortodoksi” yang berakar dari para santri dan kelompok “sinkretisme” yang berakar dari kelompok abangan.
Berbeda dengan Jay, Clifford Geertz bisa mengelaborasi kenyataan ini lebih jauh lagi, bahwa ternyata skismatik sebagai fenomena pertarungan antara Islam dan kekuatan lokal, pada dimensi-dimensi tertentu sebenarnya tidak bisa menggambarkan secara utuh kenyataan Islam di Jawa. Ternyata masih ada kekuatan lain selain abangan dalam kenyataan sosial budaya masyarakat Jawa, yakni kelompok apa yang disebut “priyayi”. Kelompok ini dalam keseharian, memiliki sejumlah kareakter yang berbeda seperti apa yang biasa dilakukan oleh para santri dan abangan. Sehingga ia menambahkan lagi, ternyata ada kekuatan-kekuatan lain di luar Islam selain abanga, yakni priyayi. Sehingga ia menyebutnya teori aliran dalam keberagamaan Islam di Jawa.
Temuan ini secara langsung ia dapatkan ketika meneliti secara serius pada komunitas perkampungan Mojokuto sebagai mikrokosmik kehidupan sosial, budaya dan agama masyarakat Jawa. Secara jelas ia ungkapkan ketiga aliran ini sebagai berikut:
“Abangan menekankan pada aspek-aspek animistic dari seluruh sinkretisme Jawa dan secara luas berkaitan dengan unsur-unsur petani di kalangan penduduk; santri mewakili suatu penekanan terhadap pelaksanaan aspek-aspek Islam yang pada umumnya berkaitan dengan unsur dagang –juga unsur-unsur tertentu dalam kelompok petani; priyayi menekankan aspek-aspek hinduistik dan berkaitan dengan unsur-unsur birokrasi…”
Ketiga varian ini pada kegiatan politik pascakolonial telah merefleksikan aspirasi politiknya pada pemilu tahun 1950-an pada partai-partai yang beragam ; abangan dan priyayi mayoritas suara politiknya mereka salurkan pada partai “komunis” dan “nasionalis” yakni PKI (Partai Komunis Indonesia) dan PNI (Partai Nasionalis Indonesia), sedangkan kelompok santri menyuarakan aspirasinya pada Masyumi atau Nahdlatul Ulama (NU).
Arti penting pendekatan/teori Geertz ini, telah memberi gambaran tentang adanya realitas kelompok aliran dalam kehdipan sosial, budaya dan politik serta agama dalam masyarakat Jawa. Dan pada masa kekuasaan Orde Baru, realitas ketiga aliran ini dipersepsikan sebagai sesuatu yang permanen dalam bangunan politik di Indonesia. Soeharto memberikan kebijakan dengan membubarkan partai-partai kemudian meleburnya menjadi tiga kelompok wadah poliitik; Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan simbol Ka’bah dan nampaknya sebagai wadah para santri; Golkar sebagai kekuatan birokrasi pemerintahan dan Partai demokrasi Indonesia mewadahi kelompok nasionalis-abangan.
Pendekatan Trikotomi.
Teori ini dikembangkan oleh Allan Samson. Dia menulis pikirannya yang tersebar ke dalam beberapa buku, “Islam and Politics in Indonesia” dalam R.William Liddle (ed). Political Participation in Moedrn Indonesia, New Haven Yale University Press, 1973;116-142. “Conceptions of Politics, Power and Ideologi in Contemporary Indonesia” dalam Karl D. Jackson (ed) Political Power and Communications in Indonesia, Berkeley, University of California Press, 1978; 196-226
Sebagaimana para teoritikus terdahulu, Samson melihat karakteritik Islam di Indonesia tidak bisa dilihat secara tunggal. Termasuk kategori “santri’-pun haruslah dilihat sebagai sesuatu yang kompleks, terutama dalam mengekspresikan keagamaan dan kemauan politiknya.
Dalam kenyataannya, kelompok santri di Indonesia –yang terwadahi dalam NU, Muhamadiyah dan Masyumi– setidak-tidaknya memilki karakter yang sangat variatif; ada yang fundamentalis, reformis dan akomodatif. Yang dimaksud kelompok-kelompok santri dalam pandangan Samson di antaranya adalah mereka-mereka yang tetap mempertahankan Islam sebagai basis dan norma-norma dalam berpolitiknya. Akan tetapi perbedaan itu terasa akan nampak dalam penyikapan mereka terhadap keinginan, gagasan, ide dan kemauan politiknya terutama ketika menghadapi realitas yang berbeda.. Kenyataan berpolitik mereka tercermin dari karakter masing-masing gerakan dan startegi yang dilakukannya. Secara jelas, warna-warna santri dalam berpolitiknya bisa di kategirkan sebagai berikut:
a.Fundamentalis. Adalah sekelompok santri yang biasanya ingin menempatkan agama dalam segala aspek kehidupan, termasuk bernegara. Kelompok ini diwakili oleh sejumlah politisi semacam M.Natsir. Mereka pada umumnya tidak bisa melakukan tawar-menawar dalam kehidupan politik. Mereka lebih tegas memegang prinsip dan cita-cita politiknya.
b.Reformis. Adalah mereka yang ingin menempatkan secara rasional posisi Islam dalam kehidupan politik. Termasuk dalam membangun relasi dan bagi penerapan kepentingan Islam. Mereka juga sebenarnya ingin menempatkan Islam pada posisi strategis di tengah-tengah kekuatan lainnya. Kelompok ini tercermin pada karakter Soekarno dalam membangun kompromi antara agama dan ideologi lainnya.
c. Akomodisionis adalah kelompok santri juga namun mereka lebih terbuka, sekalipun sepintas nampak tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Nampaknya, sikap politik dari kelompok ini sebenarnya ada sesuatu yang akan diraih jauh lebih besar dalam merangkul dan mengambil posisi penting lainnya. Sehingga seolah-olah ada sesuatu yang berani mereka korbankan. Kelompok ini lebih tercermin misalnya dalam gaya berpolitik di kalangan orang-orang NU, terutama ketika Soekarno mengusulkan adanya penggabungan kekuatan utama ideologi politik di Indonesia, yakni Nasionalis, agama dan Komunis. Hanya satu-satunya kelompok santri yang bisa menerima ideologi seperti ini. Alasannya adalah, jika semua santri meninggalkan kebijakan ini, siapa lagi yang bisa mengendalikannya.
Kategori Allan Samson ini sebenarnya tidak menunjukkan sesuatu yang permanen dalam politik Islam di Indonesia. Mereka para fundamentalis ini bisa jadi menjadi akomodatif dalam hal-hal tertentu. Namun sebagai sebuah tipologi gerakan bisa menunjukkan sesuatu yang permanen, tetapi subjek yang berada di dalamnya bisa saja berubah-ubah..
Istilah-istilah fundamental, reformis dan akomodatif bisa jadi hanya sebagai sebuah metode gerakan dan strategi politik. Bisa jadi juga sebagai lobying atau jalan berfikir bahkan alat negosiasi dalam dunia politik.
Pendekatan Islam Kultural.
Teori ini dikembangkan oleh Donald K. Emmerson. Teorinya terdapat dalam beberapa tulisanya di antaranya, “Islam in Modern Indonesia; Political Impasse, Cultural Opportunity” dalam Phillip H Stoddard (et.al) Change and the Muslim World, Syracuse University Press, 1981; 159-168. “Isl;am and Regime in Indonesia; Who ‘s Coopting Whom? Makalah dalam pertemuan tahunan Ahli-ahli politik Amerika, 31 Agustus 1989.
Secara umum orang melihat Islam di Indonesia sebagai sesuatu yang “terkalahkan”. Emmerson menyatakan sebaliknya. Betulkah Islam terkalahkan? Apa ukuran kekalahannya? Apa betul memang terkalahkan dalam semua aspek?
Dalam pandangannya, Islam justru pada skala kebudayaan memiliki kemenangan yang begitu hebat di Indonesia. Terutama pada periode Orde Baru, sekalipun secara politis Islam memang tertekan, namun dalam pengembangan kebudayaan secara makro justru bisa masuk dal;am semua lini.. Ketika Islam terpojokkan, ia kemudian mengubah strategi dan kemampuannya dengan membentuk “diversifikasi” yakni melakukan penyebaran kekuatan ke setiap posisi pranata sosial, termasuk ekonomi, pendidikan dan agama. serta seni dan kebuadayaannya. Sejak tahun 1970-an gerakan kepesantrenan dan kemadrasahan baik yang dilakukan oleh kelompok NU atau Muhammadiyah serta para cendekiawan memasuki pos-pos pemerintahan. Gagasan Nurcholis Majid, “Islam yes, politics no” merupakan titik klimaks dari manufer Islam dalam memasuki berbagai kekutan pranata sosial dan budaya di Indonesia.
Gerakan intelektual seperti munculnya sejumlah buku-buku terjemahan maupun tulisan-tulisan yang kreatif yang bisa membangun persepsi Islam Indonesia lebih hidup dan dinamis bermunculan secara fenomenal. Mizan sebagai pelopor gerakan penerbitan buku-buku seri cendikia muslim, hampir selalu menaikkan oplah cetaknya, karena permintaan pasar pembacanya, termasuk juga bermunculannya berbagai jenis diskusi yang dilakukan para kaum muda di selauruh perguruan tinggi Islam. Ini terjadi terutama pada tahun-tahun akhir 1980-an.
Kemenangan lainnya adalah Islam bisa masuk ke Istana Pemerintahan Orde Baru, dimana K.H. Qosim Nurzeha dan Prof. Dr. Quraish Shihab telah diangkat secara langsung menjadi guru ngaji keluarga Soeharto sebagai presiden RI yang cukup kuat saat itu. Hal ini kemudian diikuti oleh sejumlah kyai dan ulama untuk mulai bisa memasuki berbagai kepentingan pemerintahan, terutama untuk mensosialisasi kebijakan pemerintahan seperti program Keluarga Berencana (K, Puskesmas, transmigrasi dan pembangunan sosial lainnya. Kelanjutan dari ini, akhirnya para ulama ditarik untuk masuk pada kekuatan politik pemerintah, Golkar. Pada periode ini berbagai forum ulama dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Pada akhirnya, Islam diajak kembali dalam dunia politik praktis.
Kelanjutan pada periode ini Soeharto sebagai penguasa tunggal akhirnya sangat dekat dengan Islam. Ia mengakui dan merestui bahkan ikut membidani lahirnya Bank Mua’amalat yang berlandaskan syari’at Islam, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), bahkan ia seolah merestui sejumlah “ABRI Hijau” yang berkarakter santri dan sebagainya. Terakhir ia menunjuk BJ. Habibi –yang nota bene sebagai simbol kelompok cendekiawan muslim atau santri– selaku wakilnya untuk menjadi presiden, menggantikan dia karena berbagai desakan reformasi. Semua fenomena ini menunjukkan secara alamiyah Islam telah menunjukkan kemengannya dalam realitas politik, sosial dan budaya.
Komentar dan Kesimpulan
Dari kelima teori di atas, sebenarnya secara tegas bisa dinyatakan sebagai berikut :
1.Dekonfessionalisasi menjelaskan Islam kalah, tapi ada negosiasi akibat kekalahnnya
2.Domistikasi menjelaskan fenomena Islam kalah dengan kekuatan local
3.Skismatik menjelaskan Islam berlawanan dengan kekuatan local
4.Trikotomi menjelaskan kehidupan sosial masyarakat Islam cukup kompleks dan pluralistic
5.Diversifikasi menjelaskan Islam sebagai kekuatan budaya yang berhasil dalam menaklukkan kekuatan politik apapun.
Secara ilmiyah sebenarnya kesemua pendekatan, perspektif atau teori sosial politik dan budaya di atas, dalam melihat Islam di Indonesia sangat dimungkinkan kebenarannya. Artinya dari masing-masing perspektif teori telah memiliki argumentasi faktanya sendiri-sendiri, bahkan cara-cara melakukan pembacaan (the explanation) terhadap apa yang ditemukannya di lapangan. Bahkan sudah semestinya untuk melihat Islam di Indonesia secara objektif, kelima teori di atas perlu digabungkan secara sistemik dalam penggunaannya. Karena masing-masing fakta sosial mungkin akan cocok jika didekati oleh teori tertentu, dan fakta sosial lainnya cocok dengan teori yang lain berikutnya.
Secara kategoris, semua temuan teori/pendekatan sosial, budaya, agama dan politik tentang Islam di Indonesia di atas, ada yang bersifat permanen seperti halnya mengenai bentuk-bentuk “pengkategorisasian” atau “tipologisasi” yang mereka buat, dan ada pula yang tidak bersifat permanen dan tidak berl;aku untuk setiap periode. Pada umumnya fakta-fakta sosial yang lebih bersifat tentatif dan tidak permanen adalah menyangkut biasanya tokoh, kelompok, visi, dan strategi setiap kelompok yang mereka kaji atau fenomena lainnya yang lebih ekspresif dalam lingkup lokalitasnya. Mengapa, karena fakta-fakta sosial seperti itu sangat dinamik tergantung situasi dan kondisi yang meliputinya, untuk situasi dan kondisi tertentu mungkin tidak akan ditemukan di tempat atau peiode lain.
Sebenarnya dari kelima teori di atas sebagian ada yang masih dianggap cukup relevan dengan situasi sekarang, bahkan untuk menggambarkan keadaan perpolitikan Islam di Indonesia saat ini. Misalnya pengelompokkan ekspresi keagamaan dalam berpolitik seperti halnya ada kelompok fundamentalis, reformis dan akomodisionis, seperti yang telah dijelaskan oleh Allan Samson. Kelompok fundamentalis terkadang mengembang menjadi kelompok radikalis, akibat saluran-saluran poliitiknya tersumbat. Gerakan kelompok Mujahidin, Front Pembela Islam (FPI), Hizbu Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Umat Islam (FPUI), secara elaboratif sebenarnra nampak masih mencerminkan pada pola-pola ekspresi kelompok fundamentalis, yang dalam strateginya nampaknya tidak ada celah untuk meneriwa tawaran apapun, kecuali keinginan politiknya harus diterima. Oleh orang lain Kelompok ini pernah muncul pada awal-awal tahun 1950-an yang tercermin seperti dalam bentuk Darul Islam (DI), maupun Masyumi dalam partai politiknya.
Illustrasi Empirik Situasi Sosial, Agama dan Politik Islam di Indonesia Saat ini
Mengamati situasi sekarang terutama pasca jatuhnya Orde Baru, telah melahirkan euphoria politik yang berlebihan dari umat Islam. Sejumlah partai atas atas nama Islam lahir dengan tidak mengedepankan perhitungan visi dan misi yang rasional. Gerakan mereka muncul hanya dengan modal kepercayaan yang berlebihan bahkan terkesan sangat emosional. Mereka seringkali menggunakan simpul-simpul agama, dan itupun sangat parsial seperti halnya partai Abul Yatama, Partai Nahdlatul Ummat (PNU) dan sebagainya. Apalagi dalam praktek-praktek penarikan simpati massa, merupakan fenomena yang unik yang belum ada penjelasannya secara konstruktif. Mungkin ini bila diamati secara serius, akan melahirkan teori atau pendekatan baru dalam studi Islam di Indonesia.
Untuk daerah-daerah tertentu dimana perda-perda dalam pelaksanaan syari’at Islam sangat bersemangat, juga masih menyisakan maslah dan memerlukan kajian serius. Mengapa wailayah-wilayah tertentu seperti halnya Cianjur, Bulakamba, Pamekasan, Garut, Tasikmalaya, Tangerang dan sebagainya begitu bersemangat dalam melakukan sosialisasi pelaksanaan syari’at Islam. Apakah karena wilayah ini sebagai basis santri yang solid? Bagaimana apakah ada kaitannya dengan kemenangan partai politik tertentu? Atau karena personal legislatifnya yang begitu antusias atau sebaliknya karena masyarakatnya? Bagaimana mereka merumuskan perundang-undanagn yang berbasis syari’ah itu? Bagaimana mereka mensinergikan kekuatan syari’at Islam dengan Pancasila dan UUD 1945 sebagai konstitusi negara? Semua teori di atas secara makro nampaknya masih bisa untuk melihat fenomen-fenomena ini, sekalipun dalam hal-hal tertentu kelima teori ini tidak sepenuhnya bisa memberikan jawaban secara tuntas. Mungkin dengan mengelaborasi kelima teori di atas dan sekaligus dengan melakukan pengamatan terlibat (participant observer) ke semua titik-titik persoalan dan masalahnya, dan tentunya setiap daerah tidak akan sama Pertanyaan-pertanyaan metodologis tadi, memberi banyak inspirasi pada kita untuk terus mencari terang apa persoalan yang sebenarnya ada di tengah-tengah masyarakat kita?. Apakah selama ini peran pemerintahan belum maksimal dalam melayani masyarakatnya, sehingga mereka ingin mencoba menggunakan syari’at Islam? Atau karena faktor-faktor keyakinan saja? Atau karena euphoria saja?

Gejala radikalisme Islam di Indoiensia yang ditandai dengan lahirnya sejumlah aksi teroris yang melakukan pengeboman di sana sini, apakah ini betul ada kaitannya dengan pemahaman terhadap doktrin agama, atau karena situasi sosial ekonomi yang begitu menghimpitnya? Bahkan mungkin karena adanya jaringan dengan pihak-pihak asing? Pertanyaan berikutnya Apakah gejala radikalisme saat ini di Indonesia akan bersifat permanen?
Kelima teori/pendekatan di atas nampaknya belum bisa memberikan jawabannya secara utuh. Namun secara sosiologis dan psikologis, situasi sekarang ini nampaknya sebagai bentuk respon yang “tentatif” akibat dari situasi sebelumnya, dimana pengaruh Orde Baru yang begitu kuat, tegas dan refressif serta dominan dalam memegang kekuasaan di semua lini, tiba-tiba dikejutkan oleh arus reformasi yang mendobraknya secara radikal. Sehingga, sebenarnya reformasi tahun 1987-an itu kurang tepat untuk disebut “reformasi,” tapi lebih tepat sebagai suatu bentuk revolusi sosial dan politik yang sangat “fundamental”. Sehingga semua kelompok sosial yang terpingirkan, sebelumnya —seperti halnya mantan G 30 S PKI, kelompok fundamental Islam dan yang lainnya, merasa mendapat angin segar untuk bisa bebas bersuara dan mencoba mengekspresikannnya dalam jalur-jalur dan potensi yang dimilikinya.. Termasuk kelompok-kelompok radikal fundamental yang sebelumnya tidak mendapat kebebasan pada masa itu, kini bisa meng-ekspresikannya paling tidak dengan “bom” yang dimilikinya, agar ia bisa menunjukkan dan bernegosiasi sebagai kekuatan politik (bargaining position), bahwa dirinya juga sebagai bagian dari “Islam” yang patut diperhitungkan (waow keren…)

Radikalisme Islam di Indonesia, secara historis nampaknya tidak akan bersifat permanen, mengapa? Karena catatan sejarah di Indonesia tidak memberikan legitimasi ke arah ini. Radikalisme di Indonesia itu muncul biasanya dikarenakan ketika sistem keamanan, kewibawaan politik dan saluran aspirasi politik tidak bisa berjalan dan teratasi dengan baik. Seperti ketika masa-masa politik mengambang zaman Soekarno, tiba-tiba Darul lslam muncul sebagai kekuatan baru yang radikal, namun setelah pemerintahan kuat, mereka bisa ditumpas dan hilang dengan sendirinya..

Membaca radikalisme kelompok-kelompok muslim di Indonesia saat ini, haruslah dilihat secara komprehensif. Apakah memang karena faktor pemahaman agama semata? Atau aspek-aspek politik, atau bahkan karena aspek-aspek psikologis dan ekonomis yang sangat mendorong terjadinya perilaku demikian?. Hanya, secara kebetulan mereka termasuk pada kategori muslim, itulah persoalannya. Radikalisme di Indonesia berbeda halnya dengan radikalisme di Palestina, Afghanistan, Irak sekarang atau negara-negara muslim lainnya. Semua negara yang disebutkan tadi telah membentuk radikalisme secara permanen, karena semua kondisi dan situasinya memang secara persis permanen pula. Semua tantangan memang mendorong untuk menciptakan terjadinya sikap dan prilaku radikal umat Islam, terutama terhadap musuh-musuhnya.

Jadi, radikalisme itu muncul biasanya sejalan dengan persoalan dan permasalah yang ada di sekelilingnya. Di Indonesia mungkin hanya bersifat tentatif saja, selama sistem pemerintahan belum mapan dan solid. Atau mungkin hanya sekedar uji coba terhadap reaksi global masyarakat dunia yang korup dan curang. Yang jelas, kesemuanya akan berhenti dengan sendirinya. Semoga***. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar