Laman

Senin, 30 Mei 2011

Hadits Syadz

I. Pendahuluan
Ketahuilah bahwa diantara syarat-syarat hadits shahih adalah bahwa hadits itu tidak syadz (ganjil). Karena pengertian hadits shahih menurut para ahli hadits adalah : hadits yang bersambung sanadnya; diriwayatkan oleh orang yang adil dan kuat hafalannya, dari orang yang adil dan kuat hafalannya pula, dan seterusnya hingga mata rantai terakhir; tidak syadz; dan tidak cacat.
Dengan batasan seperti ini, hadits shahih terhindar dari sifat mursal, munqathi’ (terputus sanadnya) dan syadz, serta semua hadits yang memiliki cacat periwayatan.
Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang dapat dipercaya atau diterima, namun bertentangan dengan riwayat orang yang memiliki tingkat validitas lebih tinggi, menurut pendapat yang diakui oleh para ahli hadits.
Hal ini dijelaskan oleh Ibnu Shalah dalam Al-Muqaddimah (halaman 86). Beliau berkata : “Jika seorang perawi menyendiri dengan sesuatu, perlu diamati. Jika riwayat tunggalnya bertentangan dengan riwayat orang yang lebih baik dan kuat hafalannya, maka tergolong riwayat syadz dan tertolak. Jika riwayat tunggalnya tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang lain, tetapi hanya dia sendiri yang meriwayatkan, sedang orang lain tidak, maka perlu diamati. Apakah perawi tunggal itu kuat hafalannya dan dapat dipercaya. (Jika yang terjadi seperti itu), maka diterimalah ia (dengan tambahan lafadhnya tersebut). Dan apabila ia tidak baik dan tidak kuat hafalannya, maka terputus dan terlempar jauh dari wilayah keshahihan.








II. Pembahasan
A. Pengertian Hadits Syadz
Dari segi bahasa syadz berasal dari kata : شذ- يشذ- شذا- فهو شاذ diartikan ganjil tidak sama dengan yang mayoritas. Dari segi istilah ada beberapa pendapat, yaitu sebagai berikut:
Menurut Ulama Muhadditsin ialah:
ما رواه المقبول مخالفا من كان أرجح منه لمزيد ضبط أو كثرة عد د أو غير ذالك من وجوه الترجيحات
“Hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang makbul (tsiqah)menyalahi riwayat orang yang lebih rajah, lantaran mempunyai kelebihan kedlabitan atau banyaknya sanad atau lain sebagainya, dari segi-segi pentarjihan.”
مخلفة لمن هو او ثق منه
“Periwayatan orang yang tsiqoh menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqah.”
ما انفرد به الثقة من الثقات
“Periwayatan seorang tsiqah sendirian dari orang-orang tsiqah lainnya”
ما انفرد به الراوى سواء كان ثقة أوغير ثقة خالف غيره أم لم يخا لف
“Periwayatan seorang perawi secara sendirian baik ia tsiqah atau tidak, baik ia menyalahi periwayatan yang lain atau tidak.”
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hadis syadz adalah hadis yang ganjil, karena hanya dia sendiri yang meriwayatkannya atau periwayatannya menyalahi periwayatan orang tsiqah atau yang lebih tsiqah dan yang terakhir ini pendapat yang shahih. Jika periwayatan orang yang dha’if menyalahi periwatan orang tsiqah disebut hadis munkar dan jika periwayatan orang yang lebih tsiqah menyalahi orang tsiqah disebut hadis mahfudzh.
B. Contoh Hadits Syadz
Sebagaimana hadis dha’if lain di atas, kejanggalan (syadz) suatu hadits dapat terjadi pada sanad dan bisa terjadi pada matan.
a) Contoh hadits syadz pada sanad, ialah hadits:


ممممممممممممممممممممووووووممم






1 2
Hadis yang diriwayatkan At-Tirmidzi, An-Nasa’I, dan Ibnu Majah melalui jalan Ibnu Uyaynah dari Amr bin Dinar dari Aisyah dari Ibnu Abbas, bahwa seorang laki-laki wafat pada masa Rasulullah dan tidak meninggalkan pewaris kecuali budak yang ia merdekakannya. Nabi bertanya: “Apakah ada seseorang yang menjadi pewarisnya?”Mereka menjawab: Tidak, kecuali seorang budak yang telah dimerdekakannya, kemudian Nabi menyerahkan harta warisan kepadanya.”
Hadits At-Turmudzi (no 1), yang bersanad Ibnu Uyaynah, Amr bin Dinar, Ausajah dan Ibnu Abbas r.a., adalah hadits mahfudh. Sebab hadits tersebut, disamping mempunyai rawi-rawi yang terdiri dari orang-orang tsiqah, juga mempunyai Mutabi’, yaitu Ibnu Juraij dan lainnya.
Hadits Ash-habussunan (no 2), yang bersanad hammad bin Zaid, Amr bin Dinar dan Ausajah, adalah hadits mursal. Sebab Ausajah meriwayatkan hadits tersebut tanpa melalui sahabat Ibnu Abbas r.a., padahal dia adalah seorang tabi’iy.
Hammad bin Zaid itu termasuk rawi yang tsiqah, karenyanya ia tergolong rawi yang diterima (makbul) periwayatannya. Akan tetapi karena periwayatan Hammad bin Zaid itu berlawanan dengan periwayatan Ibnu Uyaynah yang lebih rajih, karena sanadnya muttashil dan ada muttabi’nya. Maka hadits at-Turmudzi yang melalui sanad Ibnu Uyaynahlah yang lebih rajih dan disebut dengan hadits mahfudh, sedangkan hadits ash-habussunan yang bersanad Hammad bin Zaid, adalah marjuh dan disebut dengan hadits syadz.
b) Contoh Syadz pada matan hadits:
Hadis yang diriwayatkan Abu Daud dan At-Tirmidzi melalui Abdul Wahid bin Zayyad dari Al-A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah secara marfu’ (Rasulullah bersabda):













Hadits Abu Daud (no 1), yang bersanad Abul-Wahid bin Ziyad, Al-A’masy, Abu Shalih dan Abu Hurairah r.a., yang diriwayatkan secara marfu’ itu, adalah hadits syadz pada matan. Hal itu dapat kita ketahui setelah meninjau hadits Bukhari yang bersanad ‘Abdullah bin Yazid, Sa’id bin Abi Ayyub, Abul Aswad, Urwah bin Zubair dan Aisyah r.a., dan riwayat dari rawi lain yang lebih tsiqah, yang meriwayatkan atas dasar fi’liyah (perbuatan Nabi). (perhatikan hadits no 2 ), sedangkan hadits Abu Daud diriwayatkan atas dasar qaul (perkataan Nabi).
Oleh karena menyalahi (mukhalafah) hadits Abu Daud dengan hadits Bukhary (yang lebih tsiqah) tersebut terjadi pada matannya. Bukan dalam sanadnya, maka hadits Abu Daud dinamai hadits syadz pada matannya, sedangkan hadits bukhary dan lainnya disebut hadits mahfudh (pada matannya).
Sebagian Muhadditsin menetapkan hadits syadz itu tidak tergantung kepada adanya perlawanan dengan hadits lain yang lebih rajah, tetapi cukuplah mensyadzkan suatu hadits, apabila hadits itu diriwayatkan oleh seorang saja (satu sanad), baik ia kepercayaan atau tidak. Riwayat seorang yang tidak kepercayaan ditinggalkan, tidak makbul, sedang riwayat dari orang yang kepercayaan ditawaqqufkan, tidak dibuat hujjah.

Al-Baihaqi berkata: Periwayatan Abdul Wahid bin Zayyad adalah Syadz karena menyalahi mayoritas perawi yang meriwayatkan dari segi perbuatan Nabi bukan sabda beliau. Abdul Wahid menyendiri di antara para perawi tsiqah.
III. Kesimpulan
Jadi daari segi bahasa syadz berasal dari kata : شذ- يشذ- شذا- فهو شاذ diartikan ganjil tidak sama dengan yang mayoritas. Dari segi istilah ada beberapa pendapat, antara lain yaitu sebagai berikut:
Menurut Ulama Muhadditsin ialah:
ما رواه المقبول مخالفا من كان أرجح منه لمزيد ضبط أو كثرة عد د أو غير ذالك من وجوه الترجيحات
“Hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang makbul (tsiqah)menyalahi riwayat orang yang lebih rajah, lantaran mempunyai kelebihan kedlabitan atau banyaknya sanad atau lain sebagainya, dari segi-segi pentarjihan.”
Sebagaimana hadis dha’if lain di atas, kejanggalan (syadz) suatu hadits dapat terjadi pada sanad dan bisa terjadi pada matan. Lalu sebagian Muhadditsin menetapkan hadits syadz itu tidak tergantung kepada adanya perlawanan dengan hadits lain yang lebih rajah, tetapi cukuplah mensyadzkan suatu hadits, apabila hadits itu diriwayatkan oleh seorang saja (satu sanad), baik ia kepercayaan atau tidak. Riwayat seorang yang tidak kepercayaan ditinggalkan, tidak makbul, sedang riwayat dari orang yang kepercayaan ditawaqqufkan, tidak dibuat hujjah.










Daftar Pustaka
Ash-Sholih, Subhi, Ulum Al-Hadits Wamusthalahu, 1959, Beirut : Darul Ilmi Lilmulayyin.
Madjid, Abdul, Ulumul Hadits,2008 , Jakarta: Amzah.
Rahman, Fatchur, Ikhtisar Musthalahul Hadits,1974, Bandung: Al-Ma’arif.
Thahan, Mahmud, Taysir Musthalahul Hadits, 1985, Kuwait.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar