Laman

Senin, 30 Mei 2011

Ushul Fiqh



  1. PENDAHULUAN
Para ulama’ ushul telah menetapkan sejumlah kaidah-kaidah tasyri’ yang wajib kita ketahui dan diperhatikan bagi mereka yang hendak menafsirkan nash-nash dari kaidah tersebut, dan juga memperhatikan hukum yang dihasilkan dari nash-nash, baik nash Al-Qur’an maupun Hadits serta illat hukumnya dari sesuatu masalah yang ada.
Para ulama’ fiqih dalam berijtihad senantiasa memperhatikan kaidah-kaidah kulliyah yang tidak kurang nilainya dari prinsip undang-undang internasional, walaupun dalam penggunaan nama dan istilahnya tidak sama. Tujuan dari adanya kaidah-kaidah adalah untuk memelihara jiwa islam dalam menetapkan sebuah hukum dan juga mewujudkaan hukum keadilan, kebenaran, persamaan, kemaslahatan dengan cara memelihara keadaan dharurat yang dibenarkan oleh syara’. Untuk itu, disini pemakalah akan sedikit menggambarkan tentang dua bentuk kaidah fikih, yaitu:
ليس لأ حد تمليك غيره بلا رضاه   و     كل من أدى حقا عن الغير بلا إذن او ولاية فهو متبرع ما لم يكن مضطرا
        
            Kiranya makalah ini masih banyak kekurangan karena minimnya literatur yang ditemukan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun kami (pemakalah) sangat harapkan. Akhirnya, semoga ringkasan makalah ini dapat memberi manfaat kepada kita semua serta dapat menuntut kita dalam mengarungi bahtera kehidupan agar tidak serta-merta memakai barang milik orang lain dan tidak tergesa-gesa mengambil suatu tindakan. Amin.




B.     PEMBAHASAN
B.1.1. Kaidah Pertama
ليس لأ حد تمليك غيره بلا رضاه
 “Seseorang tidak boleh memanfaatkan hak milik orang lain tanpa seizin pemiliknya/ridlhanya
B.1.2. Uraian dan makna kaidah
Tanpa adanya perijinan baik terlebih dahulu atau menyusul dari pemilik hak, seseorang tidak diperbolehkan memanfaatkan atau melakukan sesuatu hal berkenaan dengan hak tersebut, baik berupa pekerjaan atau ucapan.
Adapun tasharuf tersebut berupa pekerjaan adalah memanfaatkan hak orang lain dalam bentuk tindakan/aktifitas. Orang yang mengambil manfaat/menggunakan hak orang lain dengan izin terlebih dahulu maka ia berkedudukan sebagai wakil (taukil) atas hak tersebut. Tapi bila tanpa ijin disebut ghasab, dengan konsekwensi mengembalikannya dan mengganti kerusakan yang ada pada hak tersebut.[1]
Misalnya, si penjual haruslah pemilik barang yang dijual atau wakil dari pemilik barang. Tidak ada hak orang lain pada barang yang dijual.[2] Seseorang menggali di tanah yang bukan hak miliknya tanpa ada ijin dari pemilik maka ia harus membayar ganti rugi, tapi menurut imam Abu Hanifah dan Abi Yusuf ia tidak wajib menimbunnya kembali, berbeda dengan membuat galian di jalan umum, ia diharuskan menimbun kembali secara mutlak. Kemudian jika timbul suatu kerugian dari pekerjaan tersebut, ia harus menggantinya.
Adapun tasharuf yang berupa ucapan adalah memanfaatkan hak milik orang lain dalam bentuk ucapan. Seperti melakukan akad nikah, akad sewa-menyewa, wasiat, hibah dll. Sebagai contoh: Akad sewa menyewa, yaitu pemberi sewa merupakan pemilik barang yang disewakan atau orang yang menyandang status sebagai pengganti (wakil), atau  atas izin dari pemilik barang, begitupun dengan akad nikah, yaitu perwalian yang diperbolehkan syariat seperti ayah dan penanggung anak.[3] Dan juga contoh lain, Seseorang di akhir hayatnya mewasiatkan untuk menjual tanah sepetak di belakang rumahnya sepeninggalnya nanti.
Milik orang lain merupakan yang terjaga kehormatannya. Kehormatan ini tidak boleh dirusak dengan mentasharufkan (mengadakan akad jual beli, dan lain-lain) tanpa seizinnya/ridlhanya. Atas dasar inilah, mempergunakan harta bersama dari sebagian anggota tanpa seizin anggota yang lain atau mempergunakan pagar tetangga tanpa seizinnya tidak diperbolehkan.
Izin adakalanya diberikan dalam bentuk sharih ( jelas atau langsung) dan adakalanya berupa dilalah (indikasi atau tidak langsung). Izin yang jelas langsung adalah seperti seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk menjualkan rumahnya, sedangkan izin tidak langsung seperti yang terjadi pada dua pihak yang bersyirkah kebun anggur, ketika tiba masa panen dan salah satu pihak tidak ada, maka pihak yang ada boleh memanen seluruh buah, menjual kemudian mengambil bagiannya dan menyisihkan (menyimpan bagian temannya). Hal ini diperbolehkan karena ada penunjukan bahwa pihak yang tidak ada tidak akan rela membiarkan buah anggur bagiannya rusak (membusuk) karena tidak terpanen. Seperti halnya juga penggembala menyembelih kambing yang hampir mati milik tuannya.[4]
Disamping pemilik hak, ada beberapa pihak yang dapat menggantikan posisi pemilik yaitu pelaksana wasiat, wali, atau wakil dari pemilik. Tasharuf  terhadap harta milik orang lain tanpa izin dan tanpa sifat yang memperbolehkannya, menurut syara’ tidak diperbolehkan dan dinilai batal dalam hukum peradilan.[5]
B.1.3 Cabang kaidah:[6]
1.      Dalam materi nomor 1075 dari Majallah Al-Ahkam Al-Adliyah dinyatakan bahwa masing-masing anggota dalam perseroan milik bersama dianggap sebagai orang lain, berkaitan dengan hak miliki dengan perseroan tersebut. Masing-masing bukanlah wakil dari temannya, sehingga dia tidak boleh mentasharufkan bagian temannya kecuali telah mendapat izin.
2.      Dalam materi nomor 446 dari Majallah Al-Ahkam Al-Adliyah disebutkan bahwa pemilik barang yang disewakan berhak mentasharufkan barang yang disewakannya, begitu juga wakil, wali, atau penanggungnya.
Materi ini menjelaskan syarat berlangsungnya akad sewa menyewa, yaitu pemberi sewa merupakan pemilik barang yang disewakannya, atau merupakan orang yang berhak mentasharufkannya dengan menyandang status sebagai pengganti seperti wakil, atau atas izin dari pemilik barang tersebut, atau sebagai perwalian yang diperbolehkan syari’at seperti ayah dan penanggung anak.
     B.1.4 Pengecualian
·      Seorang anak boleh membeli apapun yang dibutuhkan oleh orang tuanya dengan menggunankan harta (orang tua) yang sedang sakit, begitu juga sebaliknya.
·      Dalam perjalanan ketika ada teman yang sedang sakit atau tidak sadarkan diri, maka teman seperjalananya boleh menggunakan harta (teman yang sakit) untuk keperluannya (teman yang sakit).

B.2.1. Kaidah Kedua
كل من أدى حقا عن الغير بلا إذن او ولاية فهو متبرع ما لم يكن مضطرا
“setiap orang yang memanfaatkan haq orang lain tanpa seizing darinya atau menjalankan wilayah kekuasaan, itu adalah mutabarru’ selama tidak dalam keadaan dorurat/terpaksa”
Akad tabarru’ adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata seperti hibah atau hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan barangnya dilaksanakan.[7]





C.    KESIMPULAN
Memanfaatkan barang (harta) milik orang lain tanpa izin dari pemiliknya, maka hal itu tidak diperbolehkan. Hal ini yang disebut dengan ghosab. Barang yang digunakan harus dikembalikan dan jika barang yang dipakainya itu cacat/rusak maka al-ghasib tersebut wajib mengganti serta meminta ridha si pemilik.

D.    DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Mustafa, Syarh Al-Qawaidul Fiqh. 1996. Jeddah. Cetakan IV: Dar-Al-Basyir.
Muhyiddin. Terjemah Al-Wajiz; 100 Kaedah Fikih dalam Kehidupan Sehari-hari. Februari, 2008 Pustaka Al-Kautsar. Jakarta Timur.



[1] Muhammad al Zarqa. hlm. 461
[2] Majalah ahkam al-adliyah pasal 96 ; asymuni . hlm 104
[3] Salim Bz, hlm 253.
[4] Syarh Al-Qawaidul Fiqh, hlm. 362.
[5] Al-Wajiz; 100 Kaedah Fikih dalam Kehidupan Sehari-hari. hlm. 203.
[6] Ibid, 203
[7] A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, hlm. 135.

Sejarah Sosial Islam

A. Asal Usul Pertumbuhan Dan Basis Sosial Dinasti Muawiyah
Dinasti Bani Umayyah adalah pemerintahan kaum muslimin yang berkembang setelah masa Khulafa al-Rasyidin, yang dimulai pada tahun 661- 750. Hampir semua sejarawan mambagi Dinasti Umayyah ini menjadi dua bagian. pertama, Dinasti Umayah yang dirintis dan didirikan oleh Muawiyah ibn Abi Sufyan yang berpusat di Damaskus (Siria). Dan kedua, Dinasti Umayah di Andalusia (Siberia) yang pada awalnya merupakan wilayah taklukan umayah di bawah pimpinan seorang gubernur pada zaman Walid ibn Abd al-Malik.
Muawiyah lahir kira-kira 15 tahun sebelum hijrah. Ia memeluk islam bersama-sama dengan penduduk makkah lainnya yang berbondong-bondong masuk islam setelah Makkah ditaklukkah oleh Kaum Muslimin. Ketika itu Muawiyah berumur 23 tahun. Muawiyah adalah orang yang cerdik, pandai berpolitik, ahli administrasi, wawasannya luas, bijaksana, dan dermawan. Karir pertama diperoleh ketika keluarganya, Usman bin Affan, diangkat menjadi kholifah. Ia menjadi gubernur di Damaskus.
Silsilah keturunan Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syamsi bin Abdi Manaf bertemu dengan Nabi Muhammad SAW pada Abdi Manaf. Turunan Nabi dipanggil dengan keluarga Hasyim (Bani Hasyim), sedangkan keturunan Umayyah disebut dengan keluarga Umayyah (Bani Umayyah). Oleh karena itu Muawiyah dinyatakan sebagai pembangun Dinasti Umayyah.

Hadits Syadz

I. Pendahuluan
Ketahuilah bahwa diantara syarat-syarat hadits shahih adalah bahwa hadits itu tidak syadz (ganjil). Karena pengertian hadits shahih menurut para ahli hadits adalah : hadits yang bersambung sanadnya; diriwayatkan oleh orang yang adil dan kuat hafalannya, dari orang yang adil dan kuat hafalannya pula, dan seterusnya hingga mata rantai terakhir; tidak syadz; dan tidak cacat.
Dengan batasan seperti ini, hadits shahih terhindar dari sifat mursal, munqathi’ (terputus sanadnya) dan syadz, serta semua hadits yang memiliki cacat periwayatan.
Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang dapat dipercaya atau diterima, namun bertentangan dengan riwayat orang yang memiliki tingkat validitas lebih tinggi, menurut pendapat yang diakui oleh para ahli hadits.
Hal ini dijelaskan oleh Ibnu Shalah dalam Al-Muqaddimah (halaman 86). Beliau berkata : “Jika seorang perawi menyendiri dengan sesuatu, perlu diamati. Jika riwayat tunggalnya bertentangan dengan riwayat orang yang lebih baik dan kuat hafalannya, maka tergolong riwayat syadz dan tertolak. Jika riwayat tunggalnya tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang lain, tetapi hanya dia sendiri yang meriwayatkan, sedang orang lain tidak, maka perlu diamati. Apakah perawi tunggal itu kuat hafalannya dan dapat dipercaya. (Jika yang terjadi seperti itu), maka diterimalah ia (dengan tambahan lafadhnya tersebut). Dan apabila ia tidak baik dan tidak kuat hafalannya, maka terputus dan terlempar jauh dari wilayah keshahihan.








II. Pembahasan
A. Pengertian Hadits Syadz
Dari segi bahasa syadz berasal dari kata : شذ- يشذ- شذا- فهو شاذ diartikan ganjil tidak sama dengan yang mayoritas. Dari segi istilah ada beberapa pendapat, yaitu sebagai berikut:
Menurut Ulama Muhadditsin ialah:
ما رواه المقبول مخالفا من كان أرجح منه لمزيد ضبط أو كثرة عد د أو غير ذالك من وجوه الترجيحات
“Hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang makbul (tsiqah)menyalahi riwayat orang yang lebih rajah, lantaran mempunyai kelebihan kedlabitan atau banyaknya sanad atau lain sebagainya, dari segi-segi pentarjihan.”
مخلفة لمن هو او ثق منه
“Periwayatan orang yang tsiqoh menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqah.”
ما انفرد به الثقة من الثقات
“Periwayatan seorang tsiqah sendirian dari orang-orang tsiqah lainnya”
ما انفرد به الراوى سواء كان ثقة أوغير ثقة خالف غيره أم لم يخا لف
“Periwayatan seorang perawi secara sendirian baik ia tsiqah atau tidak, baik ia menyalahi periwayatan yang lain atau tidak.”
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hadis syadz adalah hadis yang ganjil, karena hanya dia sendiri yang meriwayatkannya atau periwayatannya menyalahi periwayatan orang tsiqah atau yang lebih tsiqah dan yang terakhir ini pendapat yang shahih. Jika periwayatan orang yang dha’if menyalahi periwatan orang tsiqah disebut hadis munkar dan jika periwayatan orang yang lebih tsiqah menyalahi orang tsiqah disebut hadis mahfudzh.
B. Contoh Hadits Syadz
Sebagaimana hadis dha’if lain di atas, kejanggalan (syadz) suatu hadits dapat terjadi pada sanad dan bisa terjadi pada matan.
a) Contoh hadits syadz pada sanad, ialah hadits:


ممممممممممممممممممممووووووممم






1 2
Hadis yang diriwayatkan At-Tirmidzi, An-Nasa’I, dan Ibnu Majah melalui jalan Ibnu Uyaynah dari Amr bin Dinar dari Aisyah dari Ibnu Abbas, bahwa seorang laki-laki wafat pada masa Rasulullah dan tidak meninggalkan pewaris kecuali budak yang ia merdekakannya. Nabi bertanya: “Apakah ada seseorang yang menjadi pewarisnya?”Mereka menjawab: Tidak, kecuali seorang budak yang telah dimerdekakannya, kemudian Nabi menyerahkan harta warisan kepadanya.”
Hadits At-Turmudzi (no 1), yang bersanad Ibnu Uyaynah, Amr bin Dinar, Ausajah dan Ibnu Abbas r.a., adalah hadits mahfudh. Sebab hadits tersebut, disamping mempunyai rawi-rawi yang terdiri dari orang-orang tsiqah, juga mempunyai Mutabi’, yaitu Ibnu Juraij dan lainnya.
Hadits Ash-habussunan (no 2), yang bersanad hammad bin Zaid, Amr bin Dinar dan Ausajah, adalah hadits mursal. Sebab Ausajah meriwayatkan hadits tersebut tanpa melalui sahabat Ibnu Abbas r.a., padahal dia adalah seorang tabi’iy.
Hammad bin Zaid itu termasuk rawi yang tsiqah, karenyanya ia tergolong rawi yang diterima (makbul) periwayatannya. Akan tetapi karena periwayatan Hammad bin Zaid itu berlawanan dengan periwayatan Ibnu Uyaynah yang lebih rajih, karena sanadnya muttashil dan ada muttabi’nya. Maka hadits at-Turmudzi yang melalui sanad Ibnu Uyaynahlah yang lebih rajih dan disebut dengan hadits mahfudh, sedangkan hadits ash-habussunan yang bersanad Hammad bin Zaid, adalah marjuh dan disebut dengan hadits syadz.
b) Contoh Syadz pada matan hadits:
Hadis yang diriwayatkan Abu Daud dan At-Tirmidzi melalui Abdul Wahid bin Zayyad dari Al-A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah secara marfu’ (Rasulullah bersabda):













Hadits Abu Daud (no 1), yang bersanad Abul-Wahid bin Ziyad, Al-A’masy, Abu Shalih dan Abu Hurairah r.a., yang diriwayatkan secara marfu’ itu, adalah hadits syadz pada matan. Hal itu dapat kita ketahui setelah meninjau hadits Bukhari yang bersanad ‘Abdullah bin Yazid, Sa’id bin Abi Ayyub, Abul Aswad, Urwah bin Zubair dan Aisyah r.a., dan riwayat dari rawi lain yang lebih tsiqah, yang meriwayatkan atas dasar fi’liyah (perbuatan Nabi). (perhatikan hadits no 2 ), sedangkan hadits Abu Daud diriwayatkan atas dasar qaul (perkataan Nabi).
Oleh karena menyalahi (mukhalafah) hadits Abu Daud dengan hadits Bukhary (yang lebih tsiqah) tersebut terjadi pada matannya. Bukan dalam sanadnya, maka hadits Abu Daud dinamai hadits syadz pada matannya, sedangkan hadits bukhary dan lainnya disebut hadits mahfudh (pada matannya).
Sebagian Muhadditsin menetapkan hadits syadz itu tidak tergantung kepada adanya perlawanan dengan hadits lain yang lebih rajah, tetapi cukuplah mensyadzkan suatu hadits, apabila hadits itu diriwayatkan oleh seorang saja (satu sanad), baik ia kepercayaan atau tidak. Riwayat seorang yang tidak kepercayaan ditinggalkan, tidak makbul, sedang riwayat dari orang yang kepercayaan ditawaqqufkan, tidak dibuat hujjah.

Al-Baihaqi berkata: Periwayatan Abdul Wahid bin Zayyad adalah Syadz karena menyalahi mayoritas perawi yang meriwayatkan dari segi perbuatan Nabi bukan sabda beliau. Abdul Wahid menyendiri di antara para perawi tsiqah.
III. Kesimpulan
Jadi daari segi bahasa syadz berasal dari kata : شذ- يشذ- شذا- فهو شاذ diartikan ganjil tidak sama dengan yang mayoritas. Dari segi istilah ada beberapa pendapat, antara lain yaitu sebagai berikut:
Menurut Ulama Muhadditsin ialah:
ما رواه المقبول مخالفا من كان أرجح منه لمزيد ضبط أو كثرة عد د أو غير ذالك من وجوه الترجيحات
“Hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang makbul (tsiqah)menyalahi riwayat orang yang lebih rajah, lantaran mempunyai kelebihan kedlabitan atau banyaknya sanad atau lain sebagainya, dari segi-segi pentarjihan.”
Sebagaimana hadis dha’if lain di atas, kejanggalan (syadz) suatu hadits dapat terjadi pada sanad dan bisa terjadi pada matan. Lalu sebagian Muhadditsin menetapkan hadits syadz itu tidak tergantung kepada adanya perlawanan dengan hadits lain yang lebih rajah, tetapi cukuplah mensyadzkan suatu hadits, apabila hadits itu diriwayatkan oleh seorang saja (satu sanad), baik ia kepercayaan atau tidak. Riwayat seorang yang tidak kepercayaan ditinggalkan, tidak makbul, sedang riwayat dari orang yang kepercayaan ditawaqqufkan, tidak dibuat hujjah.










Daftar Pustaka
Ash-Sholih, Subhi, Ulum Al-Hadits Wamusthalahu, 1959, Beirut : Darul Ilmi Lilmulayyin.
Madjid, Abdul, Ulumul Hadits,2008 , Jakarta: Amzah.
Rahman, Fatchur, Ikhtisar Musthalahul Hadits,1974, Bandung: Al-Ma’arif.
Thahan, Mahmud, Taysir Musthalahul Hadits, 1985, Kuwait.

Contoh Penelitian Hadits

CONTOH PENELITIAN HADITS


A. PENGANTAR

Disebabkan bahwa syarat sebuah hadits dinyatakan berkualitas sahih manakala memenuhi 4(empat) syarat, yaitu : 1. Diriwayatkan oleh para periwayat yang Adl dan Dhabit (keduanya disebut Tsiqah), 2. Sanadnya bersambung, 3. Bebas dari Syadz dan 4. Bebas dari Illat, maka langkah meneliti hadits harus ditempuh melalui 4 (empat) langkah.

Langkah pertama menguji ketsiqahan para periwayat. Langkah ini dilakukan untuk memenuhi terwujud – tidaknya syarat adl dan dhabit pada periwayat. Cara yang dilakukan adalah dengan menelusuri biografi masing-masing periwayat dalam kitab Tarajum (biografi) untuk mendapatkan data-data periwayat tersebut yang meliputi antara lain : nama lengkapnya, tempat dan tahun dilahirkan dan wafatnya, guru-gurunya, murid-muridnya dan yang paling penting kualitas jarh dan ta’dilnya.

Langkah kedua adalah menguji persambungan sanadnya. Langkah ini ditempuh untuk menilai terwujud-tidaknya syarat persambungan sanad para periwayat. Cara ini dilakukan dengan menganalisis redaksi tahammul wa al-ada’ yang digunakan oleh para periwayat.

Langkah ketiga adalah menguji apakah matan hadits terbebas dari unsur syudzudz. Langkah ini dilakukan untuk mengetahui terpenuhi-tidaknya syarat bebas dari syadz atau syudzudz. Cara yang dilakukan adalah mengkofirmasikan teks matan dan atau maknanya dengan dalil Naqli, yaitu dengan mendatangkan ayat dan semua matan yang sama atau satu tema dari jalur sanad lainnya, untuk dianalisis dan dibandingkan guna menentukan mana matan yang mahfudz dan mana matan yang syadz.

Langkah keempat adalah menguji apakah matan hadits terbebas dari unsur illat atau tidak. Langkah ini dilakukan untuk mengetahui apakah syarat terbebas dari illat itu terpenuhi atau tidak. Cara yang dilakukan adalah mengkofirmasikan teks matan dan atau maknanya dengan dalil Aqli, ilmu pengetahuan, panca indera dan fakta sejarah. Apabila teks matan dan atau maknanya kontradiksi dengan semua itu, maka matan hadits dapat dinyatakan dhaif.

Untuk menelusuri biografi masing-masing periwayat yang tercantum dalam sanad dari hadits yang diteliti, yaitu hadits riwayat Al-Nasa’I, penelitian ini menggunakan rujukan kitab-kitab biografi sebagai berikut :

1. Tahdzib al-Tahdzib karya Ibn Hajar.
2. Taqrib al-Tahdzib karya Ibn Hajar juga.
3. Al-Kasyif karya Al-Dzahabi.
4. Khulashah Tadzhib Tahdzib al-Kamal karya Al-Khazraji.
Keempat kitab biografi ini disusun berdasarkan sistematika alfabetis.


B. TEKS HADITS LENGKAP


أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ مَسْعُودٍ قَالَ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ قَالَ حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ الْمُعَلِّمُ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَمَّا فَتَحَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَكَّةَ قَامَ خَطِيبًا فَقَالَ فِى خُطْبَتِهِ « لاَ يَجُوزُ لاِمْرَأَةٍ عَطِيَّةٌ إِلاَّ بِإِذْنِ زَوْجِهَا »( رواه النسائي)

“Ismail Ibn Mas’ud mengkhabarkan kepada saya, berkata dia,Khalid Ibn al-Harits bercerita kepada saya,berkata dia, Husain al-Muallim bercerita kepada saya dari Amr Ibn Syuaib bahwa bapaknyabercerita kepadanya dariAbd Allah Ibn Amr berkata: Ketika Rasul Allah saw. menaklukkan kota Mekkah Beliau berdiri berkhotbah yang didalam khotbahnya berkata : Perempuan tidak diperbolehkan memberikan apapun (dari harta suaminya) kecuali dengan seizin suaminya. HR. al-Nasa’i.”


C. STRUKTUR SANAD HADITS

Didalam hadits diatas terdapat 6 (enam) periwayat, yaitu :
1. Isma’il Ibn Mas’ud.
2. Khalid Ibn al-Harits.
3. Husain al-Muallim.
4. Amr Ibn Syuaib.
5. Syuaib (Bapaknya Amr).
6. Abd Allah Ibn Amr Ibn al-Ash.









Bagan sanadnya dapat disusun sebagai berikut:



Nabi saw
ا
Abd Allah Ibn Amr Ibn al-Ash
ا
Syuaib
ا
Amr Ibn Syuaib
ا
Husain al-Muallim
ا
Khalid Ibn al-Harits
ا
Isma’il Ibn Mas’ud
ا
Al-Nasa`i


D. BIOGRAFI MASING-MASING PERIWAYAT :

1. Nama Lengkap
2. Tahun Kelahiran dan Wafatnya
3. Guru-gurunya
4. Murid-muridnya
5. Jarh dan Ta’dilnya.


E. UJI KETSIQAHAN PARA PERIWAYAT

Penyajian data-data tentang al-Jarh wa al-Ta’dilnya para periwayat dalam sanad hadits yang diteliti dan analisisnya dapat disebutkan sebagai berikut :

1. Isma’il Ibn Mas’ud.

a. Dalam kitab Taqrib al-Tahdzib Juz 1 halaman 74, dikatakan : ثقة
b. Dalam kitab Al-Kasyif Juz 1 halaman 128, dikatakan : ثقة
c. Dalam kitab Khulashah Tadzhib Tahdzib al-Kamal halaman 36, dikatakan : Abu Hatim mengatakan : صدوق , dan dalam kitab Al-Hasiyah, Al-Nasa’I mengatakan : ثقة .

Dari sajian data-data diatas, dapat disimpulkan bahwa Isma’il Ibn Mas’ud adalah periwayat yang tsiqah.





2. Khalid Ibn al-Harits.

a. Dalam kitab Taqrib al-Tahdzib Juz 1 halaman 211-212, dikatakan :
ثقة ثبت
b. Dalam kitab al-Kasyif Juz 1 halaman 266-267, dikatakan : Ahmad mengatakan : اليه المنتهي في التثبت بالبصرة , dan Al-Qatthan mengatakan :
ما رايت خيرا منه ومن سفيان .
c. Dikatakan dalam kitab Al-Khulashah halaman 99-100 : Al-Nasa’I mengatakan : ثقة ثبت , dan al-Qatthan mengatakan :
ما رايت خيرا منه ومن سفيان

Dari paparan data-data diatas dapat disimpulkan bahwa periwayat yang bernama : Khalid Ibn al-Haris adalah periwayat yang sangat tsiqah.

3. Husain al-Muallim.

a. Dalam kitab Taqrib al-Tahdzib Juz 1 halaman 175-176 dikatakan : ثقة ربما وهم .
b. Dalam kitab al-Kasyif dikatakan : الحسين بن ذكوان المعلم البصري الثقة .

c. Dalam kitab Khulashah dikatakan, Ibn Ma’in dan Abu Hatim menilai
Husain al-Muallim :ثقة .

Data-data diatas menunjukkan bahwa Husain al-Muallim adalah periwayat yang tsiqah.

4. Amr Ibn Syuaib.

a. Dalam kitab Taqrib al-Tahdzib Juz 2 halaman 72, dikatakan :صدوق .

b. Dalam kitab al-Kasyif Juz 2 halaman 332, dikatakan : al-Qatthan mengatakan : Bila belajar kepadanya periwayat yang tsiqah, maka dia dapat dijadikan hujjah. Imam Ahmad mengatakan : Kami menjadikannya hujjah. Al-Bukhari mengatakan : saya melihat Imam Ahmad, Ali, Ishaq Abu Ubaidah dan seluruh sahabat kami menjadikannya hujjah. Abu dawud mengatakan : Tidak bisa dijadikan hujjah.

c. Dalam kitab al-Khulashah halaman 290 dikatakan : al-Qatthan mengatakan : Jika dia berguru kepada periwayat yang tsiqah, maka dia itu tsiqah dan dapat dijadikan Hujjah. Riwayat Ibn Ma’in mengatakan : Jika dia meriwayatkan dari selain bapaknya, maka dia tsiqah. Abu Dawud mengatakan : Riwayat Amr Ibn Syuaib dari bapaknya dari kakeknya tidak dapat dijadikan Hujjah. Abu Ishaq mengatakan : Dia itu seperti Ayyub dari Nafi’ dari Ibn Umar, dan al-Nasa’I menilainya tsiqah. Al-Hafidh Abu Bakar Ibn Zayyad mengatakan : Mendengarnya Amr dari bapaknya adalah sah (benar). Mendengarnya Syuaib dari kakeknya Abd Allah Ibn Amr juga sah (benar). Imam Bukhari mengatakan : Syuaib pernah mendengarkan dari kakeknya Abd Allah Ibn Amr.

Data-data diatas menunjukkan bahwa Amr Ibn Syuaib adalah periwayat yang diperselisihkan ketsiqahannya. Ulama yang tidak mentsiqahkannya tidak sampai pada men-jarh-nya dalam keadilan dan kedhabitannya, tetapi mereka menilainya negative karena factor eksternal diluar keadilan dan kedhabitannya, yaitu persoalan periwayatannya dari bapaknya. Apakah benar dia pernah mendengar dan belajar kepada bapaknya?. Kalau memang ya, apakah semua hadits yang ia riwayatkan itu memang didengar semuanya dari bapaknya?. Itulah sebabnya mengapa kebanyakan Ulama al-Jarh wa al-Ta’dil mengatakan: Jika dia meriwayatkan dari selain bapaknya, maka dia Tsiqah.
Kesimpulannya, secara pribadi Amr Ibn Syuaib adalah periwayat yang Tsiqah walaupun tidak penuh atau dengan ungkapan redaksi lain shaduq. Jika dia mengatakan mendengar dari bapaknya, maka haditsnya bisa dijadikan hujjah.

5. Syuaib Ibn Muhammad (Bapaknya Amr).

a. Dalam kitab Taqrib al-Tahdzib Juz 1 halaman 353 dikatakan :صدوق .
b. Dalam kitab al-Kasyif Juz 2 halaman 13-14 dikatakan : صدوق .
c. Dalam kitab al-Khulashah halaman 168 dikatakan: Ibn Hibban menilainya :ثقة .

Paparan data diatas menunjukkan bahwa Syuaib Ibn Muhammad adalah periwayat yang berkualitas Shaduq dan hadits yang diriwayatkannya berkualitas Hasan serta dapat diterima sebagai hujjah.

6. Abd Allah Ibn Amr Ibn al-Ash.

Abd Allah Ibn Amr Ibn al-Ash adalah seorang Sahabat Nabi saw. yang tidak perlu diragukan ketsiqahannya.


F. UJI PERSAMBUNGAN SANAD

Penyajian dan analisis data persambungan sanad dapat disebutkan sebagai berikut:

1. Imam al-Nasai mengatakan : احبرنا اسماعيل بن مسعود . Ungkapan atau redaksi ini digunakan oleh Muhadditsin untuk periwayatan hadits dalam bentuk Qira’ah yaitu pembacaan hadits oleh murid dihadapan gurunya. Dengan demikian berarti ada pertemuan antara al-Nasai dengan gurunya Isma’il Ibn Mas’ud, dan sanadnya dengan demikian : Muttasil.

2. Isma’il Ibn Mas’ud mengatakan : حدثنا خالد بن الحارث . Redaksi ini oleh Muhadditsin digunakan dalam periwayatan hadits dalam bentuk Sima’ah,yaitu pembacaan hadits oleh guru kepada murid. Dengan demikian berarti ada pertemuan antara Isma’il Ibn Mas’ud dengan gurunya Khalid Ibn al-Harits, dan ini berarti bahwa sanadnya : Muttasil.

3. Khalid Ibn al-Harits mengatakan : حدثنا حسين المعلم .Redaksi periwayatan ini sama dengan diatas menunjukkan bahwa sanadnya : Muttasil.

4. Adapun Husain al-Muallim mengatakan : عن عمرو بن شعيب . Periwayatan Husain ini memang menggunakan redaksi ‘An (عن), tetapi ‘An’anahnya tidak ada indikasi menunjukkan adanya keterputusan sanad, bahkan dapat dinyatakan bahwa sanadnya adalah : Muttasil, karena : (1) Husain al-Muallim adalah periwayat yang Tsiqah, (2) Dia bukan periwayat Mudallis, dan (3) Dimungkinkan ada atau pernah bertemu antara Husain dengan gurunya Amr Ibn Syuaib. Dalam biografinya dia mengatakan pernah berguru kepada Amr Ibn Syuaib, dan dalam biografi Amr Ibn Syuaib, Husain disebutkan sebagai muridnya dalam pembelajaran hadits.

5. Amr Ibn Syuaib mengemukakan bahwa bapaknya menceritakan kepadanya ( ان اباه حدثه ). Redaksi Haddatsahu sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya menunjukkan bahwa sanadnya : Muttasil.

6. Adapun Syuaib Ibn Muhammad Ibn Abd Allah mengatakan :
عن عبد الله بن عمرو . ‘An’anahnya Syuaib Ibn Muhammad ini bermasalah, karena Syuaib ternyata periwayat yang mudallis.
Namun al-Hafidh Ibn Hajar memasukkannya dalam kategori mudallis tabaqah kedua, yaitu tabaqah dimana para periwayat yang ada didalamnya ditoleransi ketadlisannya dan dimasukkan dalam kelompok periwayat yang dinilai sahih karena ketokohannya dan sangat kecilnya tadlis yang dilakukan dibandingkan dengan jumlah yang diriwayatkannya.
Atas dasar itu semua, peneliti mentolerir ketadlisan yang sangat minim dari Syuaib Ibn Muhammad dan memutuskan bahwa ‘An’anahnya Syuaib Ibn Muhammad adalah Muttasil In Syaa Allah.


G. UJI SYADZ - TIDAKNYA MATAN HADITS

Sejauh yang peneliti tahu, hadits tentang : larangan bagi istri untuk memberikan harta suami tanpa izin, tidak mengandung syadz, dalam arti : tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur;an atau bertentangan dengan hadits-hadits lain yang satu tema yang lebih tinggi derajatnya. Dengan demikian dapat peneliti nyatakan bahwa hadits riwayat Al-Nasai ini terbebas dari unsur syadz atau syudzudz.


H. UJI BERILLAT – TIDAKNYA MATAN HADITS

Sejauh yang peneliti amati dan renungkan, hadits tentang : larangan bagi istri memberikan harta suami tanpa izin suami ini, teksnya maupun makna yang dikandungnya, tidak ada yang bertentangan dengan akal, ilmu pengetahuan, indra maupun fakta sejarah. Dengan demikian peneliti menyimpulkan bahwa hadits yang diteliti terbebas dari unsur illat.

I. Paparan Jalur lain :




J. KESIMPULAN

1. Semua periwayat yang berjumlah 6 (enam) periwayat yang ada dalam sanad hadits, seluruhnya berkualitas : Tsiqah penuh, kecuali Amr Ibn Syuaib dan Syuaib Ibn Muhammad, keduanya berkualitas Shaduq atau Hasan.
2. Seluruh sanadnya bersambung, walaupun ada sedikit kemungkinan terputusnya sanadnya Syuaib Ibn Muhammad dari kakeknya Abd Allah Ibn Amr.
3. Sejauh yang peneliti tahu, matan hadits terbebas dari unsur syadz.
4. Sejauh yang peneliti amati, matan hadits juga terbebas dari unsur illat.

Atas dasar uraian diatas, peneliti menyimpulkan bahwa hadits yang diteliti berkualitas Hasan Lidzatihi, bisa diterima untuk dijadikan Hujjah, karena otentik berasal dari Nabi saw. Wa Allah a’lam bi al-shawab.

Peranan Sumber Belajar

I. Pendahuluan
Sejak pertengahan decade 1970-an terdapat perkembangan yang pesat di bidang dan konsep teknologi pendidikan dan teknologi instruksional (pembelajaran) dalam dunia pendidikan dan pembelajaran, tidak saja di Amerika Serikat tetapi juga di negara-negara lain seperti Canada, Australia, Korea Selatan, Jepang, Singapura, Malaysia, dan tentunya juga di Indonesia. Konsep teknologi pendidikan menekankan kepada individu yang belajar melalui pemanfaatan dan penggunaan berbagai jenis sumber belajar.
Guru atau intruktur tersebut berperan terutama sebagai satu-satunya sumber belajar yang paling dominan dalam proses pembelajaran tersebut. Hal ini seringkali berakibat menjadinya proses pemberian pelajaran oleh guru atau instruktur bersifat verbalistis, karena guru sangat dominan menggunakan lambang verbal dalam melaksanakan proses pembelajaran yang umumnya dilakukan melalui penggunaan metode ceramah. Begitu dominannya guru dalam melaksanakan proses pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah tersebut sehingga menyebabkan guru kurang mempunyai waktu untuk memberikan bimbingan dan bantuan dalam rangka memberikan kemudahan bagi murid-murid dalam kegiatan belajar mereka.
Di samping makin meluasnya penggunaan sumber belajar dalam proses pembelajaran di berbagai lembaga pendidikan, peran dan sumbangan teknologi pendidikan lainnya yang paling monumental dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran adalah dilaksanakannya sistem pendidikan terbuka (open learning) atau pendidikan/belajar jarak jauh (distance education). Sebagai jaringan pembelajaran yang bersifat inovatif dalam sistem pendidikan.
Dengan berpegang pada konsep pembelajaran dalam proses pendidikan maka diharapkan setiap siswa maupun guru dapat senantiasa belajar dan menemukan sendiri ataupun atas bantuan orang lain konsep-konsep yang dipelajari. Oleh karena itu maka dibutuhkan beragam sumber belajar yang dapat memberikan suport secara penuh agar pembelajaran dapat berlangsung secara optimal.
Sumber belajar pada dasarnya sangat banyak jumlahnya dan beragam. Keberagaman tersebut akan memberikan dampak positif maupun negatif. Dampak positifnya adalah proses pembelajaran akan berlangsung lebih baik, dimana akan terbentuk pembelajaran aktif, interaktif, kreatif, dan menyenangkan (PAIKEM) serta sesuai kebutuhan. Dampak negatifnya, guru memiliki tugas yang tidak mudah dalam menentukan sumber belajar maupun media belajar yang sesuai dengan pembelajaran yang akan diberikan. Terlebih jika ada kendala misalnya guru tidak tahu tentang peta sumber belajar yang dapat dioptimalkan. Dampak lainnya adalah dengan bertambah majunya ilmu pengetahuan dan teknologi di satu pihak banyak memberikan kemudahan bagi manusia, tetapi dilain pihak juga membawa dampak dan permasalahan sendiri.

II. Pembahasan
A. Belajar dan Pembelajaran itu?
Belajar adalah perubahan perilaku karena interaksi antara individu dengan sumber belajar yang meliputi kawasan kognitif, psikomotor maupun afektif. Belajar bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dengan siapa/apa saja dan dapat dilakukan baik secara formal, non-formal ataupun informal.
Dalam sistem pendidikan yang baik dan benar, belajar itu mempunnyai sifat aktif dan terarah yang diwujudkan dalam bentuk tujuan intruksional yang jelas dan operasiona. Menurut Percival dan Ellington dalam psikologi perilaku, belajar adalah yang terjadi karena hubungan yang stabil antara stimulus yang diterima oleh organism secara individual dengan respon yang dilakukannya, baik respon terbuka maupun respon yang tersamar. Tinggi rendah besar kecil dan intensitas respon tersebut tergantung pada tingkat kematangan fisik, mental, dan tendensi yang belajar.
Kegiatan belajar seseorang tak dapat diwakili oleh orang lain, harus dialami sendiri oleh orang yang belajar (pebelajar). Terjadinya proses belajar tak harus selalu ada orang yang mengajar. Peran guru (pemelajar) adalah menciptakan kondisi agar terjadi kegiatan belajar pada siswa (pebelajar). Kegiatan belajar mengajar sekarang lebih cenderung student center bukan lagi teacher center. Strategi pembelajaran yang digunakan untuk proses pembelajaran pada saat ini adalah strategi pembelajaran konstrutivisme.
B. Belajar dan Sumber Belajar
Sumber belajar (learning resources) adalah semua sumber baik berupa data, orang dan wujud tertentu yang dapat digunakan oleh peserta didik dalam belajar, baik secara terpisah maupun secara terkombinasi sehingga mempermudah peserta didik dalam mencapai tujuan belajar atau mencapai kompetensi tertentu. Proses belajar hanya bisa terjadi jika ada interaksi antara pebelajar dengan sumber belajar. Orang (guru) hanya salah satu jenis sumber belajar selain sumber-sumber belajar lain. Tugas utama guru adalah mengupayakan agar siswa dapat berinteraksi sebanyak mungkin dengan sumber belajar.
C. Arti dan Jenis Sumber Belajar
Dalam pasal 1 no 20 Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa “pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Dari apa yang terdapat dalam Undang-Undang RI tentang Sisdiknas tersebut jelaslah bahwa sumber belajar, di samping pendidik, mutlak diperlukan dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Hal ini disebabkan karena proses pembelajaran hanya akan berlangsung apabila terdapat interaksi antara peserta didik dengan sumber belajar dan pendidik.
Dengan kata lain tanpa sumber belajar, maka pembelajaran tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan optimal, karena proses pembelajaran akan terwujud bila terjadi interaksi antara peserta didik dengan pendidik. Peran pendidik sangat diperlukan dalam memberikan motivasi, arahan, bimbingan, konseling, dan kemudahan (fasilitasi) bagi berlangsungnya proses belajar dan pembelajaran yang dialami oleh peserta didik dalam keseluruhan proses belajarnya. Sedang sumber belajar berperan dalam menyediakan berbagai informasi dan pengetahuan yang diperlukan dalam mengembangkan berbagai kompetensi yang diinginkan pada bidang studi atau mata pelajaran yang dipelajarinya.

Menurut AECT (Association of Education and Communication Technology), “terdapat enam macam sumber belajar yaitu pesan, orang, bahan, alat, teknik dan latar / lingkungan. Keenam sumber belajar tersebut juga merupakan komponen sistem pembelajaran, artinya dalam setiap kegiatan pembelajaran, selalu terdapat keenam komponen tersebut. (1) Pesan, adalah kurikulum atau mata pelajaran yang terdapat pada masing-masing sekolah atau jenjang pendidikan dan yang perlu dipelajari oleh murid; (2) orang, antara lain guru, tutor, pembimbing dan sebagainya adalah yang menyampaikan pesan pembelajaran kepada peserta didik; (3) bahan, adalah program yang memuat atau berisi pesan pembelajaran seperti buku, program video atau audio, VCD dan lain-lain; (4) alat, adalah sarana untuk menayangkan bahan atau program seperti proyektor film, video recorder, OHP, dan sebagainya; (5) teknik, adalah prosedur yang digunakan untuk menyampaikan pesan pembelajaran seperti diskusi, karyawisata, demonstrasi, ceramah, dan sebagainya; (6) latar (settings), yaitu lingkungan di mana belajar dan pembelajaran berlangsung misalnya di kelas, di taman, penerangan dan ventilasi ruangan, dan sebagainya.
Agar dapat berfungsi secara optimal dalam kegiatan belajar dan pembelajaran, sumber belajar tersebut perlu dikembangkan dan dikelola dengan sebaik-baiknya. Lembaga yang mempunyai tugas untuk mengembangkan dan mengelola berbagai sumber belajar yang secara mutlak diperlukan untuk penyelenggaraan kegiatan belajar dan pembelajaran tersebut adalah “Pusat Sumber Belajar:.
Pusat sumber belajar adalah suatu unit dalam suatu lembaga (khususnya sekolah/universitas) yang berperan mendorong efektifitas serta optimalisasi proses pembelajaran melalui penyelenggaraan berbagai fungsi yang meliputi fungsi layanan (layanan sumber belajar, pelatihan, konsultansi pembelajaran, dll), fungsi pengadaan/ pengembangan, fungsi penelitian dan pengembangan, dll.
Bahan-bahan (sumber belajar) yang akan dikembangkan dan dikelola oleh Pusat Sumber Belajar untuk memberikan kemudahan untuk proses belajar dan pembelajaran dapat dibedakan dalam dua macam yaitu: (1) sumber belajar yang dirancang (Learning Resource by design) dan (2) sumber belajar yang dimanfaatkan (Learning Resource by utilization).

Sumber belajar yang dirancang (learning resources by design) adalah sumber belajar yang dirancang dengan secara sengaja dan sistematis untuk digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Pengembangan bahan atau sumber belajar tersebut diawali dengan suatu kegiatan menganalisis kebutuhan (“need analysis” atau disebut juga “need assessment”), kemudian dilanjutkan dengan perumusan tujuan yang ingin dicapai, menganalisis karakteristik peserta belajarnya, materi yang ingin diberikan, menentukan media yang cocok dengan tujuan dan karakteristik learner, pengembangan program prototipa, uji coba, serta diakhiri dengan revisi. Idealnya, dalam suatu Pusat Sumner Belajar seyogyanya mempunyai koleksi yang memadai bahan-bahan belajar yang dirancang dengan sengaja dan sistematis seperti ini yang dianalisis berdasarkan kebutuhan sehingga dapat membantu dan mempermudah pencapaian tujuan pembelajaran.
Sumber belajar yang dimanfaatkan (learning resources by utilization) adalah sumber belajar yang sudah tersedia dan tinggal dimanfaatkan untuk kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Sumber belajar yang dimanfaatkan ini awalnya tidak dirancang secara sengaja untuk keperluan. Contoh yang sederhana misalnya buku-buku pelajaran, gambar di majalah, berbagai model (tiruan) seperti hati, jantung, dan sebgainya adalah merupakan sumber belajar yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan belajar dan pembelajaran.

D. Peranan Sumber Belajar dalam Belajar Individual
1. Pola komunikasi dalam belajar individual
Pola komunikasi dalam belajar individual sangat dipengaruhi oleh peranan sumber belajar yang digunakan dalam proses belajar. Titik berat dalam proses belajar mengajar adalah pada siswa sedangkan guru mempunyai peranan sebagai penunjang atau stimulator. Dengan demikian maka peranan sumber belajar sangat penting karena yang menentukan keberhasilan belajar adalah sumber belajar dan siswa bukan guru.
2. Tiga pendekatan yang berbeda dalam belajar individual
Belajar individual adalah tipe belajar yang berpusat pada siswa (student centered approach), sehingga dituntut peran dan aktivitas siswa secara utuh dan mandiri agar prestasi belajarnya tinggi. Dalam belajar individual ada tiga pendekatan atau cara belajar individual yang banyak dikenal dewasa ini, yaitu:
a. Sistem yang berinduk pada lembaga pendidikan (Institution Based).
Sekolah, akademi, Universitas, dan pusat latihan adalah contoh dari sistem pendidikan yang berpusat pada guru (teacher centred approach). Artinya keberhasilan pendidikan dan atau mutu pendidikan tergantung pada guru atau lembaga pendidikan tersebut. Tetapi sebetulnya lembaga pendidikan tersebut memungkinkan untuk dipadukan atau digunakan untuk menerapkan teknik belajar individual.
Contoh: Front line teaching method, dalam hal ini guru berperan untuk menunjukkan sumber belajar yang perlu dipelajari setiap harinya, tetapi guru jarang sekali mendiskusikan hasil belajarnya, yang didiskusikan adalah kesulitan-kesulitan tertentu saja. Siswa aktif melaporkan hasil belajarnya secara tertulis/lisan. Waktu untuk menyelesaikan studinya juga tergantug siswa.
b. Sistem local (Lokal System)
Model pendidikan ini lebih cenderung ke bentuk pendidikan non-formal (pendidikan orang dewasa dan latihan lanjutan). Contoh di Amerika adalah Community College. Sistem local ini sangat luwes, karena termasuk pendidikan terbuka. Pendidikan khususnya disediakan untuk masyarakat di sekitarnya atau bagi mereka yang bertempat tinggal jauh dan terisolasi serta bagi yang karena factor kesibukkan sehingga tidak dapat masuk ke pendidikan formal yang kaku.
c. Pendidikan jarak jauh (distance learning).
 Siswa boleh dikatakan hamper tidak pernah dating ke induk sekolah atau uiversitasnya,
 Sumber belajar utama dikirim melalui pos,
 Proses belajar lebih banyak dilakukan sendiri atau dengan cara membentuk kelompok dan segala masalah dipecahkan sendiri atau oleh kelompok (self help group).
 Proses dan sumber belajar tambahan diberikan melalui siaran TV, radio, dan telepon pendidikan.
 Contoh sumber belajar: buku, video interaktfe, CAI (Computer Assisted Invention), Audio-Visual Aids (AVA), dan bahan bacaan yang deprogram.
E. Apa fungsi sumber belajar?
Sumber belajar memiliki fungsi :
1. Meningkatkan produktivitas pembelajaran dengan jalan: (a) mempercepat laju belajar dan membantu guru untuk menggunakan waktu secara lebih baik dan (b) mengurangi beban guru dalam menyajikan informasi, sehingga dapat lebih banyak membina dan mengembangkan gairah.
2. Memberikan kemungkinan pembelajaran yang sifatnya lebih individual, dengan cara: (a) mengurangi kontrol guru yang kaku dan tradisional; dan (b) memberikan kesempatan bagi siswa untuk berkembang sesuai dengan kemampuannnya.
3. Memberikan dasar yang lebih ilmiah terhadap pembelajaran dengan cara: (a) perancangan program pembelajaran yang lebih sistematis; dan (b) pengembangan bahan pengajaran yang dilandasi oleh penelitian.
4. Lebih memantapkan pembelajaran, dengan jalan: (a) meningkatkan kemampuan sumber belajar; (b) penyajian informasi dan bahan secara lebih kongkrit.
5. Memungkinkan belajar secara seketika, yaitu: (a) mengurangi kesenjangan antara pembelajaran yang bersifat verbal dan abstrak dengan realitas yang sifatnya kongkrit; (b) memberikan pengetahuan yang sifatnya langsung.
6. Memungkinkan penyajian pembelajaran yang lebih luas, dengan menyajikan informasi yang mampu menembus batas geografis.
Fungsi-fungsi di atas sekaligus menggambarkan tentang alasan dan arti penting sumber belajar untuk kepentingan proses dan pencapaian hasil pembelajaran peserta didik.

F. Apa kriteria memilih sumber belajar?
Dalam memilih sumber belajar harus memperhatikan kriteria sebagai berikut: (1) ekonomis: tidak harus terpatok pada harga yang mahal; (2) praktis: tidak memerlukan pengelolaan yang rumit, sulit dan langka; (3) mudah: dekat dan tersedia di sekitar lingkungan kita; (4) fleksibel: dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan instruksional dan; (5) sesuai dengan tujuan: mendukung proses dan pencapaian tujuan belajar, dapat membangkitkan motivasi dan minat belajar siswa.
G. Bagaimana memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar?
Lingkungan merupakan salah satu sumber belajar yang amat penting dan memiliki nilai-nilai yang sangat berharga dalam rangka proses pembelajaran siswa. Lingkungan dapat memperkaya bahan dan kegiatan belajar. Lingkungan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar terdiri dari : (1) lingkungan sosial (2) lingkungan fisik (alam). Lingkungan sosial dapat digunakan untuk memperdalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan sedangkan lingkungan alam dapat digunakan untuk mempelajari tentang gejala-gejala alam dan dapat menumbuhkan kesadaran peserta didik akan cinta alam dan partispasi dalam memlihara dan melestarikan alam.
Pemanfaatan lingkungan dapat ditempuh dengan cara melakukan kegiatan dengan membawa peserta didik ke lingkungan, seperti survey, karyawisata, berkemah, praktek lapangan dan sebagainya. Bahkan belakangan ini berkembang kegiatan pembelajaran dengan apa yang disebut out-bond, yang pada dasarnya merupakan proses pembelajaran dengan menggunakan alam terbuka. Di samping itu pemanfaatan lingkungan dapat dilakukan dengan cara membawa lingkungan ke dalam kelas, seperti : menghadirkan nara sumber untuk menyampaikan materi di dalam kelas. Agar penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar berjalan efektif, maka perlu dilakukan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi serta tindak lanjutnya.


H. Bagaimana mengoptimalkan sumber belajar?
Banyak orang beranggapan bahwa untuk menyediakan sumber belajar menuntut adanya biaya yang tinggi dan sulit untuk mendapatkannya, yang kadang-kadang ujung-ujungnya akan membebani orang tua siswa untuk mengeluarkan dana pendidikan yang lebih besar lagi. Padahal dengan berbekal kreativitas, guru dapat membuat dan menyediakan sumber belajar yang sederhana dan murah.
III. Kesimpulan
Sumber belajar adalah salah satu komponen atau fungsi dari teknologi pendidikan. Yang dimaksud dengan sumber belajar adalah meliputi: message, , man, materials, devices, techniques, setting. Selanjutnya dalam rangka memilih sumber belajar, harus memperhatikan factor: tujuan, ekonomi, kepraktisan, kemudahan, dan fleksilitas. Sejauh mana efektivitas dan efisiensi sumber belajar hanya dapat diketahui dengan mengetahui dengan mengadakan evaluasi.










Daftar Pustaka
Daryanto, Belajar Mengajar,Yrama Widya, Bandung, 2010.
Hamalik, Oemar, Proses Belajar Mengajar, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2004.
Soeharto, Karti, Teknologi Pembelajaran, Surabaya Intellectual Club, Surabaya 2003.

BEBERAPA PENDEKATAN STUDI ISLAM DI INDONESIA

BEBERAPA PENDEKATAN STUDI ISLAM DI INDONESIA
Oleh: A



Pengantar
Urgensi mata kuliah ini adalah untuk memperkenalkan beberapa temuan teori yang dihasilkan oleh para sarjan Barat dalam melihat Islam di Indonesia. Untuk selanjutnya kita diharapkan bisa mengapresiasi bahkan mengkritisi beberapa temuan mereka. Karena setelah mereka melakukan studi secara intensif, ternyata banyak hal yang harus dan bisa dijelaskan secara ilmiyah mengenai ke-khas-an dan corak ke-Islaman di Indonesia.
Persoalannya adalah, apakah temuan-temuan mereka pada masa itu masih relevan dengan kondisi dan untuk menggambarkan Islam Indonesia sekarang? Apa tujuan sebenarnya dibalik studi mereka dalam melihat Islam di Indonesia? Adakah dampak positif bagi Islam sendiri atau bahkan kesan negatif yang muncul, ketika Islam Indonesia dijelaskan dengan cara-cara seperti itu?
Untuk itulah, Dr. Bahtiar Effendy, MA selaku pembina mata kuliah ini sejak awal telah menyarankan bahwa kita sebagai sarjana muslim Indonesia perlu membaca pandangan-pandangan mereka secara konseptual dan rasional. Apakah aspek-aspek dan metodologi penelitian mereka bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiyah dan akademik? Apa kelebihan dan kekurangan yang ada pada temuan mereka dalam melihat Islam di Indonesia dari masing-maming perspektifnya?
Sebagai bahan kajian utama untuk melatih kepekaan mahasiswanya dalam melihat Islam di Indonesia, untuk sementara ini beliau baru menawarkan lima teori yang dikembangkan oleh hasil-hasil studi para sarjana Barat yang nota bene-nya telah disebut sebagai ahli ke-Indonesia-an (indonesianist). Kelima teori atau pendekatan dalam melihat Islam di Indonesia, terutama dalam aspek-aspek agama, sosial, politik dan budaya itu di antaranya:

1.Pendekatan Dekonfessionalisasi yang dikembangkan oleh C.A.O.Van Nieuwenhuijze. Teori ini diambil dari karyanya berjudul, “The Indonesian State and Deconfessionalized Muslim Concepts” dalam Aspects of Islam in Post-Colonial Indonesia, The Hague and Bandung W van Hoeve,1958;180-243, dan Islam and National Self-Realization” dalam Cross-Cultural studies, The Hague, Monton and Co,1963;136-156.
Pandangan teori ini menyatakan secara garis besarnya, bahwa sebagaimana yang pernah terjadi di Belanda dalam rangka menyatukan perbedaan antar kelompok agama dan memelihara hubungan politik bersana dalam sebuah negara, maka seluruh identitas keyakinan, simbol-simbol kelompok yang eksklusif harus bisa ditinggalkan untuk sementara waktu dalam rangka mencapai suatu kesatuan dan kebersamaan yang lebih besar.

Kenyataan ini, ternyata bisa pula untuk memotret kasus di Indoinesia pascakolonialisme, dimana para tokoh-tokoh elit politik dari macam agama dan latar belakang sosial yang berbeda (Muslim, Kristen, Nasionalis, Sosialis, Sekularis, Modernis bahkan Ortodoks) untuk sama-sama duduk bersama terutama dalam merumuskan ideologi kebangsaan, Pancasila. Semua tokoh bisa bahkan harus bisa menekan kepentingannya masing-masing untuk bisa mengadaptasi dan mendapatkan sesuatu yang lebih besar, yakni merumuskan visi kebangsaan secara bersama.
Dalam kasus di Indonesia ini, dekonfesionalisasi adalah konsep yang digunakan untuk memperluas penerimaan umum, mencakup semua kelompok yang berkepentingan, terhadap konsep-konsep muslim atas dasar pertimbangan kemanusiaan bersama.
Dalam pandangan Nieuwenhuijze., munculnya rumusan Pancasila sebagai gagasan ideologi dan visi kebangsaan di Indoensia, dimana bukan lagi Islam sebagai azas utamanya, sebenarnya bukanlah sebuah kekalahan Umat Islam –karena memang secara realistik kelompok yang paling giat dalam banyak memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan yang merumuskan menjadi suatu sistem kebangsaan adalah umat Islam.. Hal ini terbukti, bahwa dari kelima dasar Pancasila itu, sebenarnya secara keseluruhan adalah mencerminkan juga ideologi Islam sendiri. Keesaan Tuhan, keadilan sosial, demokrasi/musyawarah, dan kemanusiaan, semuanya merupakan bagian-bagian penting dari ajaran Islam dan konsep Islam. Termasuk munculnya Departemen Agama, merupakan juga jaminan yang sebenarnya bagi tegaknya Islam secara formal dalam sebuah lembaga kenegaraan.

Dalam kacamata Nieuwenhuijze, para tokoh Islam di Indoensia sangat “cantik” dalam memainkan peran mereka untuk mengakomodasi kelompok lain, tapi secara realistik keberadaan mereka sendiri tetap tersalurkan secara utuh. Ini merupakan suatu bentuk penafsiran kreatif atas prinsip-prinsip Islam yang sedemikian rupa dalam rangka memapankan relevansinya dengan kehidupan politik modern.
Pendekatan Domestikasi Islam yang dikembangkan oleh Harry J. Benda.
Teori ini dikembangkan dari Magnum Opusnya, The Crescent and The Rising Sun, telah diterjemahkan oleh Daniel Dekhade dan diterbitkan oleh Pustaka Jaya, Jakarta. Serta tulisannya yang berjudul Continuity and Change in Indonesia Islam dalam Asian and African Studies, Vol.1, 1965;123-138
Dalam pandangan teorinya ia menggambarkan, Islam walau sehebat apapun perkembangannya di Indonesia, kekuatan lokal senantiasa terus memainkan dominasinya sehingga dinamika Islam yang sesungguhnya itu lumpuh, “terdomistikasi” dalam lingkup lokalitasnya. Fenomena “sinkretik” merupakan sesuatu yang sangat realistik untuk segera menyatakan bahwa kekuatan Islam yang agung itu selalu termakan oleh kekuatan lokalnya. Bahkan bukan sekedar itu, dalam pandangan Benda, bangkitnya kesultanan Mataram, sebenarnya merupakan sebuah penolakan terhadap Islam yang sebenarnya di Demak.. Benda menggambarkan, Mataram Islam sebenarnya sebagai sebuah simbiosis dari kekuatan Hindu Jawa, dan ia merefleksikan simbol kekuatan yang sesungguhnya dalam melawan kekuatan Islam peisisir Demak sebagai kekuatan skripturalis Islam.
Semua fenomena yang terjadi pada antara abad ke-16 – 18 yang mudah diamati itu, sekali lagi sekali memberi kenyataan Islam yang universal dan kosmopolit itu takluk di dalam dekapan “Jawa-Hindu-Mataram”: Dalam konteks “pemandulan politik Islam” yang sebenarnya inilah Harry J Benda menemukan teori “domestikasi”-nya.
Pada perkembangan berikutnya, kekuatan nasionalis dalam personifikasi Soekarno dalam partai PNI, juga bentuk kelanjutan dari upaya yang terus mendominasi dan “mengkrangkeng” beberapa kekuatan Islam skripturalis seperti halnya Darul Islam, Masyumi dan sebagainya untuk kemudian digantikan dengan Pancasila yang pada dasarnya bukan nota bene Islam. Dalam kacamata Benda, Pancasila sebenarnya sebagai personifikasi bentuk kekuatan dan kemenangan Jawa . Dalam hal ini ia menyatakan seperti yang dikutip Bahtiar Effendi dalam bukunya, Islam dan Negara, Mizan, 1998;.30 “…Pancasila, ideologi resmi negara, adalah Jawa, teistik, secara samar monoteistik, padahal yang pasti bukan Islam”
Pada kesimpulannya teorinya, Benda ingin menyatakan, bahwa fenomena pasca kolonislisme dimana akumulasi proses terbentuknya sistem dan visi kenegaraan dan kebangsaan, merupakan suatu pengulangan ajang pertempuran, perebutan antara kekuatan Islam dan Jawa. Kemenangan akhirnya dipegang oleh kelompok yang terakhir ini.
Pendekatan Skismatik dan Aliran.
Pendekatan ini dikembangkan oleh Robert Jay dan Clifford Geertz. Dari tulisan Jay di antaranya, Santri and Abangan; Religious Schism in Rural Central Java, dan bukunya Religion and Politisc in Rural Centarl Java, New Haven; Yale University, 1963. Sementara Geertz banyak juga dia menulis dan yang paling populer adalah The Religion of Java, University of Chicago Press, 1976

Pandangan Jay dalam melihat Islam di Indonesia nampaknya agak mirip seperti apa yang dilihat oleh Harry J Benda, bahwa di Indoensia khususnya Jawa –karena mayoritas penelitian mereka pada umumnya dilakukan di Jawa, khususnya Jawa Tengah– ada suatu kekuatan di luar Islam yang senantiasa menyaingi bahkan “menjinakan”nya. Benda menyebutnya sebagai kekuatan Hindu-Jawa, sedangkan Jay melihatnya sebagai kelompok abangan.
Teori skismatik yang dia bangun menunjukkan bahwa akar-akar konfrontasi (skisma) antara santri dan abangan ini sebenarnya bermula dari proses islamisasi awal di berbagai tempat, khususnya Jawa. Wilayah-wilayah yang pada umumnya pengaruh Hindu-Budha-nya tipis –terutama daerah-daerah pesisir utara Jawa, telah mengkonversi Islam secara total dan menerima apa adanya. Sehingga, mereka-mereka ini kelak akan menjadi kekuatan Islam yang skripturalis, atau lebih tepat disebut “santri”. Sebaliknya, untuk wilayah-wilayah tertentu di pedalaman dimana kekuatn Hindu-Budha-nya cukup kuat terutama daerah-daerah pedalaman seperti bekas-bekas kekuatan kerajaan Majapahit di Mataram dan Singosari di Malang,.seringkali menunjukkan antara Islam dan kekuatan lokal saling melakukan penetrasi. Sehingga kemudian transformasi sosial-budaya dan agama menjadi sesuatu yang sinkretik dan pada akhirnya banyak melahirkan kelompok-kelompok abangan.
Memang antara dua kekuatan ini sepertinya saling pengaruh-mempengaruhi namun pada sisi yang lain kadangkala membangun ketegangan yang sangat melebar, terutama dalam dunia politik. Seperti apa yang terjadi dengan kasus pembantaian terhadap para ulama oleh Sultan Amangkurat II (1613-1646), dalam pandangan Robert Jay bisa dilihat sebagai bentuk fenomena skismatik yang sangat radikal.. Secara umum kekuatan dua kelompok ini, terus berjalan pada pascakolonialis dan masa-masa pembentukan visi kenegara. Keduanya mengkristal dalam wadah yang disebut, “ortodoksi” yang berakar dari para santri dan kelompok “sinkretisme” yang berakar dari kelompok abangan.
Berbeda dengan Jay, Clifford Geertz bisa mengelaborasi kenyataan ini lebih jauh lagi, bahwa ternyata skismatik sebagai fenomena pertarungan antara Islam dan kekuatan lokal, pada dimensi-dimensi tertentu sebenarnya tidak bisa menggambarkan secara utuh kenyataan Islam di Jawa. Ternyata masih ada kekuatan lain selain abangan dalam kenyataan sosial budaya masyarakat Jawa, yakni kelompok apa yang disebut “priyayi”. Kelompok ini dalam keseharian, memiliki sejumlah kareakter yang berbeda seperti apa yang biasa dilakukan oleh para santri dan abangan. Sehingga ia menambahkan lagi, ternyata ada kekuatan-kekuatan lain di luar Islam selain abanga, yakni priyayi. Sehingga ia menyebutnya teori aliran dalam keberagamaan Islam di Jawa.
Temuan ini secara langsung ia dapatkan ketika meneliti secara serius pada komunitas perkampungan Mojokuto sebagai mikrokosmik kehidupan sosial, budaya dan agama masyarakat Jawa. Secara jelas ia ungkapkan ketiga aliran ini sebagai berikut:
“Abangan menekankan pada aspek-aspek animistic dari seluruh sinkretisme Jawa dan secara luas berkaitan dengan unsur-unsur petani di kalangan penduduk; santri mewakili suatu penekanan terhadap pelaksanaan aspek-aspek Islam yang pada umumnya berkaitan dengan unsur dagang –juga unsur-unsur tertentu dalam kelompok petani; priyayi menekankan aspek-aspek hinduistik dan berkaitan dengan unsur-unsur birokrasi…”
Ketiga varian ini pada kegiatan politik pascakolonial telah merefleksikan aspirasi politiknya pada pemilu tahun 1950-an pada partai-partai yang beragam ; abangan dan priyayi mayoritas suara politiknya mereka salurkan pada partai “komunis” dan “nasionalis” yakni PKI (Partai Komunis Indonesia) dan PNI (Partai Nasionalis Indonesia), sedangkan kelompok santri menyuarakan aspirasinya pada Masyumi atau Nahdlatul Ulama (NU).
Arti penting pendekatan/teori Geertz ini, telah memberi gambaran tentang adanya realitas kelompok aliran dalam kehdipan sosial, budaya dan politik serta agama dalam masyarakat Jawa. Dan pada masa kekuasaan Orde Baru, realitas ketiga aliran ini dipersepsikan sebagai sesuatu yang permanen dalam bangunan politik di Indonesia. Soeharto memberikan kebijakan dengan membubarkan partai-partai kemudian meleburnya menjadi tiga kelompok wadah poliitik; Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan simbol Ka’bah dan nampaknya sebagai wadah para santri; Golkar sebagai kekuatan birokrasi pemerintahan dan Partai demokrasi Indonesia mewadahi kelompok nasionalis-abangan.
Pendekatan Trikotomi.
Teori ini dikembangkan oleh Allan Samson. Dia menulis pikirannya yang tersebar ke dalam beberapa buku, “Islam and Politics in Indonesia” dalam R.William Liddle (ed). Political Participation in Moedrn Indonesia, New Haven Yale University Press, 1973;116-142. “Conceptions of Politics, Power and Ideologi in Contemporary Indonesia” dalam Karl D. Jackson (ed) Political Power and Communications in Indonesia, Berkeley, University of California Press, 1978; 196-226
Sebagaimana para teoritikus terdahulu, Samson melihat karakteritik Islam di Indonesia tidak bisa dilihat secara tunggal. Termasuk kategori “santri’-pun haruslah dilihat sebagai sesuatu yang kompleks, terutama dalam mengekspresikan keagamaan dan kemauan politiknya.
Dalam kenyataannya, kelompok santri di Indonesia –yang terwadahi dalam NU, Muhamadiyah dan Masyumi– setidak-tidaknya memilki karakter yang sangat variatif; ada yang fundamentalis, reformis dan akomodatif. Yang dimaksud kelompok-kelompok santri dalam pandangan Samson di antaranya adalah mereka-mereka yang tetap mempertahankan Islam sebagai basis dan norma-norma dalam berpolitiknya. Akan tetapi perbedaan itu terasa akan nampak dalam penyikapan mereka terhadap keinginan, gagasan, ide dan kemauan politiknya terutama ketika menghadapi realitas yang berbeda.. Kenyataan berpolitik mereka tercermin dari karakter masing-masing gerakan dan startegi yang dilakukannya. Secara jelas, warna-warna santri dalam berpolitiknya bisa di kategirkan sebagai berikut:
a.Fundamentalis. Adalah sekelompok santri yang biasanya ingin menempatkan agama dalam segala aspek kehidupan, termasuk bernegara. Kelompok ini diwakili oleh sejumlah politisi semacam M.Natsir. Mereka pada umumnya tidak bisa melakukan tawar-menawar dalam kehidupan politik. Mereka lebih tegas memegang prinsip dan cita-cita politiknya.
b.Reformis. Adalah mereka yang ingin menempatkan secara rasional posisi Islam dalam kehidupan politik. Termasuk dalam membangun relasi dan bagi penerapan kepentingan Islam. Mereka juga sebenarnya ingin menempatkan Islam pada posisi strategis di tengah-tengah kekuatan lainnya. Kelompok ini tercermin pada karakter Soekarno dalam membangun kompromi antara agama dan ideologi lainnya.
c. Akomodisionis adalah kelompok santri juga namun mereka lebih terbuka, sekalipun sepintas nampak tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Nampaknya, sikap politik dari kelompok ini sebenarnya ada sesuatu yang akan diraih jauh lebih besar dalam merangkul dan mengambil posisi penting lainnya. Sehingga seolah-olah ada sesuatu yang berani mereka korbankan. Kelompok ini lebih tercermin misalnya dalam gaya berpolitik di kalangan orang-orang NU, terutama ketika Soekarno mengusulkan adanya penggabungan kekuatan utama ideologi politik di Indonesia, yakni Nasionalis, agama dan Komunis. Hanya satu-satunya kelompok santri yang bisa menerima ideologi seperti ini. Alasannya adalah, jika semua santri meninggalkan kebijakan ini, siapa lagi yang bisa mengendalikannya.
Kategori Allan Samson ini sebenarnya tidak menunjukkan sesuatu yang permanen dalam politik Islam di Indonesia. Mereka para fundamentalis ini bisa jadi menjadi akomodatif dalam hal-hal tertentu. Namun sebagai sebuah tipologi gerakan bisa menunjukkan sesuatu yang permanen, tetapi subjek yang berada di dalamnya bisa saja berubah-ubah..
Istilah-istilah fundamental, reformis dan akomodatif bisa jadi hanya sebagai sebuah metode gerakan dan strategi politik. Bisa jadi juga sebagai lobying atau jalan berfikir bahkan alat negosiasi dalam dunia politik.
Pendekatan Islam Kultural.
Teori ini dikembangkan oleh Donald K. Emmerson. Teorinya terdapat dalam beberapa tulisanya di antaranya, “Islam in Modern Indonesia; Political Impasse, Cultural Opportunity” dalam Phillip H Stoddard (et.al) Change and the Muslim World, Syracuse University Press, 1981; 159-168. “Isl;am and Regime in Indonesia; Who ‘s Coopting Whom? Makalah dalam pertemuan tahunan Ahli-ahli politik Amerika, 31 Agustus 1989.
Secara umum orang melihat Islam di Indonesia sebagai sesuatu yang “terkalahkan”. Emmerson menyatakan sebaliknya. Betulkah Islam terkalahkan? Apa ukuran kekalahannya? Apa betul memang terkalahkan dalam semua aspek?
Dalam pandangannya, Islam justru pada skala kebudayaan memiliki kemenangan yang begitu hebat di Indonesia. Terutama pada periode Orde Baru, sekalipun secara politis Islam memang tertekan, namun dalam pengembangan kebudayaan secara makro justru bisa masuk dal;am semua lini.. Ketika Islam terpojokkan, ia kemudian mengubah strategi dan kemampuannya dengan membentuk “diversifikasi” yakni melakukan penyebaran kekuatan ke setiap posisi pranata sosial, termasuk ekonomi, pendidikan dan agama. serta seni dan kebuadayaannya. Sejak tahun 1970-an gerakan kepesantrenan dan kemadrasahan baik yang dilakukan oleh kelompok NU atau Muhammadiyah serta para cendekiawan memasuki pos-pos pemerintahan. Gagasan Nurcholis Majid, “Islam yes, politics no” merupakan titik klimaks dari manufer Islam dalam memasuki berbagai kekutan pranata sosial dan budaya di Indonesia.
Gerakan intelektual seperti munculnya sejumlah buku-buku terjemahan maupun tulisan-tulisan yang kreatif yang bisa membangun persepsi Islam Indonesia lebih hidup dan dinamis bermunculan secara fenomenal. Mizan sebagai pelopor gerakan penerbitan buku-buku seri cendikia muslim, hampir selalu menaikkan oplah cetaknya, karena permintaan pasar pembacanya, termasuk juga bermunculannya berbagai jenis diskusi yang dilakukan para kaum muda di selauruh perguruan tinggi Islam. Ini terjadi terutama pada tahun-tahun akhir 1980-an.
Kemenangan lainnya adalah Islam bisa masuk ke Istana Pemerintahan Orde Baru, dimana K.H. Qosim Nurzeha dan Prof. Dr. Quraish Shihab telah diangkat secara langsung menjadi guru ngaji keluarga Soeharto sebagai presiden RI yang cukup kuat saat itu. Hal ini kemudian diikuti oleh sejumlah kyai dan ulama untuk mulai bisa memasuki berbagai kepentingan pemerintahan, terutama untuk mensosialisasi kebijakan pemerintahan seperti program Keluarga Berencana (K, Puskesmas, transmigrasi dan pembangunan sosial lainnya. Kelanjutan dari ini, akhirnya para ulama ditarik untuk masuk pada kekuatan politik pemerintah, Golkar. Pada periode ini berbagai forum ulama dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Pada akhirnya, Islam diajak kembali dalam dunia politik praktis.
Kelanjutan pada periode ini Soeharto sebagai penguasa tunggal akhirnya sangat dekat dengan Islam. Ia mengakui dan merestui bahkan ikut membidani lahirnya Bank Mua’amalat yang berlandaskan syari’at Islam, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), bahkan ia seolah merestui sejumlah “ABRI Hijau” yang berkarakter santri dan sebagainya. Terakhir ia menunjuk BJ. Habibi –yang nota bene sebagai simbol kelompok cendekiawan muslim atau santri– selaku wakilnya untuk menjadi presiden, menggantikan dia karena berbagai desakan reformasi. Semua fenomena ini menunjukkan secara alamiyah Islam telah menunjukkan kemengannya dalam realitas politik, sosial dan budaya.
Komentar dan Kesimpulan
Dari kelima teori di atas, sebenarnya secara tegas bisa dinyatakan sebagai berikut :
1.Dekonfessionalisasi menjelaskan Islam kalah, tapi ada negosiasi akibat kekalahnnya
2.Domistikasi menjelaskan fenomena Islam kalah dengan kekuatan local
3.Skismatik menjelaskan Islam berlawanan dengan kekuatan local
4.Trikotomi menjelaskan kehidupan sosial masyarakat Islam cukup kompleks dan pluralistic
5.Diversifikasi menjelaskan Islam sebagai kekuatan budaya yang berhasil dalam menaklukkan kekuatan politik apapun.
Secara ilmiyah sebenarnya kesemua pendekatan, perspektif atau teori sosial politik dan budaya di atas, dalam melihat Islam di Indonesia sangat dimungkinkan kebenarannya. Artinya dari masing-masing perspektif teori telah memiliki argumentasi faktanya sendiri-sendiri, bahkan cara-cara melakukan pembacaan (the explanation) terhadap apa yang ditemukannya di lapangan. Bahkan sudah semestinya untuk melihat Islam di Indonesia secara objektif, kelima teori di atas perlu digabungkan secara sistemik dalam penggunaannya. Karena masing-masing fakta sosial mungkin akan cocok jika didekati oleh teori tertentu, dan fakta sosial lainnya cocok dengan teori yang lain berikutnya.
Secara kategoris, semua temuan teori/pendekatan sosial, budaya, agama dan politik tentang Islam di Indonesia di atas, ada yang bersifat permanen seperti halnya mengenai bentuk-bentuk “pengkategorisasian” atau “tipologisasi” yang mereka buat, dan ada pula yang tidak bersifat permanen dan tidak berl;aku untuk setiap periode. Pada umumnya fakta-fakta sosial yang lebih bersifat tentatif dan tidak permanen adalah menyangkut biasanya tokoh, kelompok, visi, dan strategi setiap kelompok yang mereka kaji atau fenomena lainnya yang lebih ekspresif dalam lingkup lokalitasnya. Mengapa, karena fakta-fakta sosial seperti itu sangat dinamik tergantung situasi dan kondisi yang meliputinya, untuk situasi dan kondisi tertentu mungkin tidak akan ditemukan di tempat atau peiode lain.
Sebenarnya dari kelima teori di atas sebagian ada yang masih dianggap cukup relevan dengan situasi sekarang, bahkan untuk menggambarkan keadaan perpolitikan Islam di Indonesia saat ini. Misalnya pengelompokkan ekspresi keagamaan dalam berpolitik seperti halnya ada kelompok fundamentalis, reformis dan akomodisionis, seperti yang telah dijelaskan oleh Allan Samson. Kelompok fundamentalis terkadang mengembang menjadi kelompok radikalis, akibat saluran-saluran poliitiknya tersumbat. Gerakan kelompok Mujahidin, Front Pembela Islam (FPI), Hizbu Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Umat Islam (FPUI), secara elaboratif sebenarnra nampak masih mencerminkan pada pola-pola ekspresi kelompok fundamentalis, yang dalam strateginya nampaknya tidak ada celah untuk meneriwa tawaran apapun, kecuali keinginan politiknya harus diterima. Oleh orang lain Kelompok ini pernah muncul pada awal-awal tahun 1950-an yang tercermin seperti dalam bentuk Darul Islam (DI), maupun Masyumi dalam partai politiknya.
Illustrasi Empirik Situasi Sosial, Agama dan Politik Islam di Indonesia Saat ini
Mengamati situasi sekarang terutama pasca jatuhnya Orde Baru, telah melahirkan euphoria politik yang berlebihan dari umat Islam. Sejumlah partai atas atas nama Islam lahir dengan tidak mengedepankan perhitungan visi dan misi yang rasional. Gerakan mereka muncul hanya dengan modal kepercayaan yang berlebihan bahkan terkesan sangat emosional. Mereka seringkali menggunakan simpul-simpul agama, dan itupun sangat parsial seperti halnya partai Abul Yatama, Partai Nahdlatul Ummat (PNU) dan sebagainya. Apalagi dalam praktek-praktek penarikan simpati massa, merupakan fenomena yang unik yang belum ada penjelasannya secara konstruktif. Mungkin ini bila diamati secara serius, akan melahirkan teori atau pendekatan baru dalam studi Islam di Indonesia.
Untuk daerah-daerah tertentu dimana perda-perda dalam pelaksanaan syari’at Islam sangat bersemangat, juga masih menyisakan maslah dan memerlukan kajian serius. Mengapa wailayah-wilayah tertentu seperti halnya Cianjur, Bulakamba, Pamekasan, Garut, Tasikmalaya, Tangerang dan sebagainya begitu bersemangat dalam melakukan sosialisasi pelaksanaan syari’at Islam. Apakah karena wilayah ini sebagai basis santri yang solid? Bagaimana apakah ada kaitannya dengan kemenangan partai politik tertentu? Atau karena personal legislatifnya yang begitu antusias atau sebaliknya karena masyarakatnya? Bagaimana mereka merumuskan perundang-undanagn yang berbasis syari’ah itu? Bagaimana mereka mensinergikan kekuatan syari’at Islam dengan Pancasila dan UUD 1945 sebagai konstitusi negara? Semua teori di atas secara makro nampaknya masih bisa untuk melihat fenomen-fenomena ini, sekalipun dalam hal-hal tertentu kelima teori ini tidak sepenuhnya bisa memberikan jawaban secara tuntas. Mungkin dengan mengelaborasi kelima teori di atas dan sekaligus dengan melakukan pengamatan terlibat (participant observer) ke semua titik-titik persoalan dan masalahnya, dan tentunya setiap daerah tidak akan sama Pertanyaan-pertanyaan metodologis tadi, memberi banyak inspirasi pada kita untuk terus mencari terang apa persoalan yang sebenarnya ada di tengah-tengah masyarakat kita?. Apakah selama ini peran pemerintahan belum maksimal dalam melayani masyarakatnya, sehingga mereka ingin mencoba menggunakan syari’at Islam? Atau karena faktor-faktor keyakinan saja? Atau karena euphoria saja?

Gejala radikalisme Islam di Indoiensia yang ditandai dengan lahirnya sejumlah aksi teroris yang melakukan pengeboman di sana sini, apakah ini betul ada kaitannya dengan pemahaman terhadap doktrin agama, atau karena situasi sosial ekonomi yang begitu menghimpitnya? Bahkan mungkin karena adanya jaringan dengan pihak-pihak asing? Pertanyaan berikutnya Apakah gejala radikalisme saat ini di Indonesia akan bersifat permanen?
Kelima teori/pendekatan di atas nampaknya belum bisa memberikan jawabannya secara utuh. Namun secara sosiologis dan psikologis, situasi sekarang ini nampaknya sebagai bentuk respon yang “tentatif” akibat dari situasi sebelumnya, dimana pengaruh Orde Baru yang begitu kuat, tegas dan refressif serta dominan dalam memegang kekuasaan di semua lini, tiba-tiba dikejutkan oleh arus reformasi yang mendobraknya secara radikal. Sehingga, sebenarnya reformasi tahun 1987-an itu kurang tepat untuk disebut “reformasi,” tapi lebih tepat sebagai suatu bentuk revolusi sosial dan politik yang sangat “fundamental”. Sehingga semua kelompok sosial yang terpingirkan, sebelumnya —seperti halnya mantan G 30 S PKI, kelompok fundamental Islam dan yang lainnya, merasa mendapat angin segar untuk bisa bebas bersuara dan mencoba mengekspresikannnya dalam jalur-jalur dan potensi yang dimilikinya.. Termasuk kelompok-kelompok radikal fundamental yang sebelumnya tidak mendapat kebebasan pada masa itu, kini bisa meng-ekspresikannya paling tidak dengan “bom” yang dimilikinya, agar ia bisa menunjukkan dan bernegosiasi sebagai kekuatan politik (bargaining position), bahwa dirinya juga sebagai bagian dari “Islam” yang patut diperhitungkan (waow keren…)

Radikalisme Islam di Indonesia, secara historis nampaknya tidak akan bersifat permanen, mengapa? Karena catatan sejarah di Indonesia tidak memberikan legitimasi ke arah ini. Radikalisme di Indonesia itu muncul biasanya dikarenakan ketika sistem keamanan, kewibawaan politik dan saluran aspirasi politik tidak bisa berjalan dan teratasi dengan baik. Seperti ketika masa-masa politik mengambang zaman Soekarno, tiba-tiba Darul lslam muncul sebagai kekuatan baru yang radikal, namun setelah pemerintahan kuat, mereka bisa ditumpas dan hilang dengan sendirinya..

Membaca radikalisme kelompok-kelompok muslim di Indonesia saat ini, haruslah dilihat secara komprehensif. Apakah memang karena faktor pemahaman agama semata? Atau aspek-aspek politik, atau bahkan karena aspek-aspek psikologis dan ekonomis yang sangat mendorong terjadinya perilaku demikian?. Hanya, secara kebetulan mereka termasuk pada kategori muslim, itulah persoalannya. Radikalisme di Indonesia berbeda halnya dengan radikalisme di Palestina, Afghanistan, Irak sekarang atau negara-negara muslim lainnya. Semua negara yang disebutkan tadi telah membentuk radikalisme secara permanen, karena semua kondisi dan situasinya memang secara persis permanen pula. Semua tantangan memang mendorong untuk menciptakan terjadinya sikap dan prilaku radikal umat Islam, terutama terhadap musuh-musuhnya.

Jadi, radikalisme itu muncul biasanya sejalan dengan persoalan dan permasalah yang ada di sekelilingnya. Di Indonesia mungkin hanya bersifat tentatif saja, selama sistem pemerintahan belum mapan dan solid. Atau mungkin hanya sekedar uji coba terhadap reaksi global masyarakat dunia yang korup dan curang. Yang jelas, kesemuanya akan berhenti dengan sendirinya. Semoga***. Wallahu A’lam.